Bagian 46

436 25 0
                                    

.
.
.

Aku turun dari kamar dengan mata bengkak. Menangis tiada henti sejak sore tadi. Persis seperti bocah yang ditinggal pergi orang tuanya. Jika bukan karena lapar, aku pasti masih betah tinggal di kamar. Menangisi suamiku yang sekarang ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku takut tidak bisa bertemu dengannya lagi. Entah pikiran macam apa ini.

"Sayang, mau makan malam?" Bunda menyambutku begitu aku sampai di ujung tangga.

Aku hanya mengangguk. Tangan kananku mengusap ingus dengan tisu yang sudah kubawa dari kamar. Tidak peduli meski dilihat Ayah dan Bunda. Aku benar-benar merindukan pria itu. Bagaimana ini? Padahal, baru beberapa jam tidak bertemu.

"Bunda temenin, yuk!"

Bunda menggandeng tanganku dengan hati-hati. Mengajakku ke meja makan. Sekilas aku melihat Rain yang duduk di pangkuan Ayah. Bocah itu anteng sekali. Sepertinya, Rain memang tidak pilih-pilih kalau diajak orang. Siapa saja mau.

"Mau makan apa?" tanya Bunda setelah aku duduk di meja makan.

"Apa saja yang ada, Bun." Aku sudah sangat lapar sekali. Jadi, apa saja akan aku makan.

Bunda mengangguk. Langsung mengambilkan untukku, sepiring nasi dengan oseng buncis dan sepotong ayam bakar. Aku makan sambil sesekali menyeka hidung yang beringus. Bunda tetap duduk menemaniku.

"Sudah ngomong ke Alvin, kalau Dira nggak papa ditinggal dulu?" tanya Bunda memastikan.

Aku menggeleng. Nomor Kak Alvin belum bisa dihubungi. Pasti masih sibuk sekali di sana.

"Lho, kenapa? Biar Alvinnya tenang, tidak kepikiran Dira. Kasihan lho, kerja jauh kalau nggak fokus."

"Nomernya nggak aktif, Bun. Nanti Dira coba lagi." Menyuap besar-besar ke dalam mulutku.

Bunda mengangguk mengerti dengan jawabanku. Lalu, menggeleng melihat cara makanku yang seperti orang kelaparan. Sangat rakus dan berantakan. Beberapa kali Bunda bahkan harus membantu menyeka mulutku yang berlepotan.

"Dira tahu nggak, dulu waktu Kak Andri masih kecil, sekira umur 3 tahunan, Bunda sama Ayah pernah kesulitan ekonomi. Waktu itu, hanya Ayah saja yang bekerja. Tidak tahu mengapa, tiba-tiba saja cobaan datang silih berganti. Yang semuanya, membutuhkan uang. Tabungan Bunda sama Ayah sudah habis, barang berharga sudah dijual, sertifikat tanah dan kendaraan sudah tergadai, tidak ada apa pun lagi yang kami miliki. Padahal, hutang masih ada.

"Untuk makan saja, terkadang hanya bisa sehari dua kali. Benar-benar saat itu, hubungan Ayah dan Bunda sedang diuji. Pertengkaran semakin sering terjadi. Mulai saling menyalahkan dan menuruti ego masing-masing. Hampir-hampir saja, kala itu, pernikahan kami sudah karam. Bahkan, Bunda berkali-kali minta pisah. Syukurlah Ayahmu masih memiliki akal sehat. Memikirkan kakak kamu yang masih kecil.

"Lama sekali kami melewatinya. Hingga hampir menyerah. Bunda dan Ayah hanya bisa bertangisan bersama saking putus asanya. Merasa sudah tidak memiliki jalan. Kemudian, buah kesabaran itu akhirnya bisa kami petik. Masalah mulai menyusut, ada saja jalan yang Allah Berikan. Hingga ujian yang berat itu, bisa kami lalui pada akhirnya. Perlahan-lahan, kondisi keluarga kita mulai bangkit."

Ada kesedihan mendalam saat Bunda menceritakan itu. Pasti, Bunda teringat masa penuh kesulitan itu. Sudah sering Bunda bercerita, jika dulu, hidup kami sangat susah sekali. Semua baru membaik setelah Bunda hamil aku. Kata Bunda, aku membawa rezeki yang besar. Bahkan dibanding kedua kakakku, masa kecilku lah yang kondisinya paling baik. Tak heran, jika aku paling manja di antara mereka.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang