67. Begitu Banyak Cinta

389 16 4
                                    

.
.
.

Paginya, aku ikut penerbangan paling pagi. Biar bagaimana pun, Kevin pernah menjadi bagian dari keluargaku. Aku akan mengurus peristirahatannya yang terakhir. Mom menolak untuk ikut serta. Namun, berjanji akan menyusulku setelah menyelesaikan beberapa hal di sini.

Daddy rupanya sudah mengurus pemakaman Kevin. Saat aku tiba di rumah sakit tempatnya dirawat, Daddy sudah berada di sana. Makamnya juga sudah diurus. Tinggal mengantarkan Kevin ke rumah abadinya.

"Daddy pernah begitu menyayanginya. Bahkan lebih mementingkan Kevin dari pada kamu, Al," Daddy membuka suara saat kami dalam perjalanan menuju ke pemakaman. Kami semobil bersama, dengan Sam yang mengemudi. Sengaja aku tidak memberitahu Dira, karena kondisi Bunda memburuk. Pagi tadi, Bunda juga dibawa ke rumah sakit untuk dirawat.

"Setelah Daddy tahu, Kevin bukan anak kandung Daddy, Daddy begitu marah dan kecewa. Namun, Daddy tidak pernah bisa membencinya, Al. Daddy menganggapnya seperti putra Daddy sendiri. Seringkali Daddy berpikir, apa jika Daddy tahu kelainan Kevin lebih cepat, semua hal ini bisa dicegah? Sangat menyakitkan rasanya, tahu Kevin meninggal oleh hal seburuk ini. Daddy merasa menjadi ayah yang gagal."

Pria yang biasanya tegas dan berwibawa ini, menangis di sebelahku. Menunjukkan kelemahannya sebagai laki-laki padaku. Bahunya bergetar. Aku pun sebenarnya begitu. Tidak peduli, sama atau tidak darah yang mengalir di tubuh kami, aku tetap menyayangi Kevin seperti adikku sendiri. Jika saja Kevin mau sedikit berubah, di akhir hidupnya, aku pasti memperlakukannya lebih baik lagi.

Pemakaman dilakukan dengan tenang. Tidak banyak yang datang. Hanya aku, Sam, Daddy dan kekasih prianya Kevin. Selain itu adalah anak buah Daddy dan pihak rumah sakit. Hampir satu jam kemudian, hanya tersisa kami berempat. Kami terdiam, kecuali kekasih Kevin yang masih menangis meraung di atas pusaranya. Kata Sam namanya Veri.

"Bajing*n! Kurang aj*r kamu, Alvian! Berani sekali kamu menguburkan putraku tanpa memberitahuku!"

Tiba-tiba suara teriakan di kejauhan mengagetkan kami. Di sana, dengan pakaian serba hitam dan rambut berantakan, Tante Vita datang. Wanita itu, terlihat kacau sekali. Wajahnya basah oleh air mata. Berjalan tergesa menghampiri kami. Tangannya menunjuk-nunjuk Daddy sembari terus mencaci maki.

"Aku tidak terima atas apa yang kalian lakukan pada putraku! Kalian benar-benar manusia tidak punya hati! Kalian anggap aku ini apa, ha?" Kedua tangan Tante Vita bertengger di pinggang. Berdiri di hadapan Daddy dengan sikap menantang.

"Brengs*k! Bajing*n! Kevin jadi begini gara-gara kalian! Aku pasti akan membalas ini semua! Aku pasti akan membalasnya. Lihat saja! Kalian tidak akan hidup tenang setelah ini! Pergi kalian semua dari makam putraku! Pergi dan jangan pernah berani untuk datang kemari lagi!"

Daddy menahan tanganku saat aku hendak membalas ucapan Tante Vita. Menyuruhku pergi bersama Sam dan Veri. Meski awalnya keberatan, tetapi Daddy memaksaku. Membuatku akhirnya menurut saja. Meninggalkan area pemakaman bersama Sam dan Veri.

"Saya masih punya hutang pada Pak Alvin," Veri yang ikut semobil denganku, membuka suara tiba-tiba. "Seperti yang pernah saya katakan, saya akan melakukan apa saja jika Bapak bersedia membantu. Dan saya akan menepatinya."

Aku menatap pemuda yang masih muda itu. Usianya mungkin hampir sama denganku. Masih terlalu muda. Entah mengapa, aku merasa terpanggil untuk menyelamatkan pemuda ini. Jangan sampai, dia memiliki akhir yang sama dengan Kevin. Semoga saja aku belum terlambat.

"Saya ingin kamu bekerja untuk saya. Tapi sebelum itu, saya harus memastikan dulu, apakah kamu memiliki penyakit yang sama dengan Kevin atau tidak!"

"Tidak, Pak! Saya rutin periksa setiap bulan dan hasilnya negatif. Namun, jika Bapak tidak percaya, saya bersedia melakukan pemeriksaan kembali."

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang