Bagian 17

779 25 2
                                    

.
.
.

Aku merasa, ini adalah tidurku yang paling nyenyak selama beberapa bulan terakhir. Aku bahkan, tidak mengalami mimpi buruk seperti biasanya. Sampai-sampai, aku tidak ingin membuka mata. Nyaman sekali. Selain karena aku merasa ranjang yang kupakai lebih bagus dan berkualitas dari ranjangku di rumah Ayah, ini juga pasti karena efek ... tu-tunggu!

Sebuah kesadaran menghantam kepalaku. Membuatnya berdenyut menyakitkan. Benar. Aku tidur di pelukan ayahnya Rain. Laki-laki itu, memelukku erat sejak semalam. Bahkan, meski panas di tubuhnya mengalir juga ke tubuhku, aku tidak terganggu sama sekali. Alhasil, saat bangun, aku merasa basah seluruh tubuhku karena keringat. Bukan. Bukan hanya tubuhku. Tapi, kedua tubuh kami sama-sama berkeringat.

Ingat jika laki-laki ini memintaku menghangatkan tubuhnya? Ya. Aku benar-benar melakukan itu tanpa keberatan. Aku diam saja dalam pelukan eratnya tanpa memberontak, hingga akhirnya aku ketiduran. Kami tidak melakukan apa pun tentu saja. Bagaimana bisa orang sakit melakukan hal seperti itu? Tapi, bukankah saat sakit pun tenaganya tidak berkurang sama sekali? Ah ... ada apa dengan kepalaku? Bagaimana bisa aku berpikiran begini? Dekat dengan laki-laki ini, membuat otak polosku teracuni.

Aku melepaskan kaitan tangannya di tubuhku dengan hati-hati. Mengecek Rain yang masih terlelap. Lalu bergegas ke kamar mandi. Aku mandi dan kembali meminjam pakaian laki-laki itu. Sebuah celana pendek yang saat kupakai sampai di bawah lutut, dengan kaos hitam yang juga kebesaran. Saat selesai mandi, aku melihat jika kedua bayiku belum bangun. Jadilah aku ke dapur. Memesan makanan untuk kami sarapan lewat ponselku. Sembari menunggu, aku membereskan sisa makan malamku yang tidak terlalu berantakan. Karena laki-laki itu memang sangat rapi, sedikit saja aku memberantakan dapurnya, terlihat mencolok sekali.

"Kenapa tidak bangunin saya?" Sebuah tangan melingkar di perutku saat aku mencuci gelas. Lalu, dagunya menumpang di pundakku sampai membuatku merinding karena hembusan napasnya.

"Istirahat saja sana di kamar. Aku lagi pesen sarapan, kalau sudah datang, nanti aku panggil. Kamu minum obat lagi abis sarapan nanti." Meski aku mengomel, anehnya, aku tidak mencoba menyingkirkan tangannya dari tubuhku. Padahal aku sudah selesai mencuci gelas, tetapi aku masih diam di tempat. Membiarkannya memelukku lebih lama. Lagipula, aku juga nyaman.

"Saya sudah sembuh. Obat saya itu kamu."

"Ck. Gombal!"

"Saya berkata apa adanya. Buktinya pelukin kamu semalaman, paginya langsung sembuh. Kalau kita sudah menikah nanti, saya pasti tidak akan pernah sakit. Baru mau sakit, langsung pelukin kamu, sakitnya nggak jadi. Kalau kita sudah menikah, saya tidak ingin apa pun lagi. Kamu dan Rain, adalah dunia saya yang paling berharga."

"Ck. Mulutnya licin banget kalau ngegombal." Aku menepuk tangannya yang berada di perutku. Pura-pura kesal, padahal pipiku memerah dengan hebat. Dadaku mengembang dan berdebar. Menikah dengannya, diam-diam menjadi rencana yang sangat ingin aku wujudkan.

Aku ingin, menikah dan memiliki keluarga bersamanya. Membuatnya terjebak seumur hidup denganku. Agar dia menebus kesalahan di masa lalu, dengan menjamin kebahagiaan untukku di masa depan. Aku tidak takut dia meninggalkanku. Aku melihat sendiri, betapa dia sangat mencintaiku. Aku sadar, aku pun membutuhkannya. Bukan hanya Rain. Sekarang, apa aku boleh berharap, kisah kami akan menjadi happy ending?

"Saya berkata sungguh-sungguh. Saya berjanji, ah tidak, saya bersumpah. Kamu adalah yang pertama dan terakhir untuk saya. Saya janji, tidak akan mencintai perempuan lain, melebihi cinta saya untuk kamu," membalikkan tubuhku hingga kami berhadapan.

Sebelah tangannya menangkup pipiku. Mengelusnya pelan, hingga aku terperangkap dalam birunya netra tulus itu. Aku melihatnya, melihat kesungguhan dan ketulusan laki-laki yang merupakan ayah putraku ini. Jantungku semakin bertalu, kala jarak antara kami semakin terkikis. Meski aku tahu, apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi aku tidak mencoba menghentikannya. Aku bahkan menutup mataku saat akhirnya, sengatan itu datang. Hangat, lembut dan penuh candu. Manis sekali. Membuat diriku yang lain menginginkan lebih.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang