Bagian 19

600 24 7
                                    

.
.
.

Praaannggg

Aku yang baru mau mandi terlonjak kaget mendengar bunyi keras dari kamar Kak Desi di sebelah kamarku. Aku langsung bergegas ke kamarnya untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata di sana, sudah ada Kak Andri.

"Ada apa, Kak?" tanyaku pada Kak Andri yang sedang memeluk Kak Desi yang menangis histeris.

Kak Andri mengangkat kedua bahunya. Tidak tahu apa yang terjadi. Sebuah vas bunga pecah, belingnya berhamburan di salah satu sisi kamar. Meja rias Kak Desi juga berantakan. Ranjangnya sudah tidak karuan. Kak Desi yang sangat rapi dan mencintai kebersihan, tiba-tiba kamarnya seperti kapal pecah. Apa yang terjadi?

"Yang tenang, Des. Semua masalah ada jalan keluarnya. Kamu nggak boleh seperti ini. Cerita sama Kakak. Apa yang membuat kamu begini?" Kak Andri mengusap airmata Kak Desi dengan lembut.

"Ada apa?" Bunda dan Ayah datang bersamaan. Rain berada di gendongan Ayah.

"Aku benci!" Kak Desi menjerit.

Aku kaget. Rain dalam pelukan Ayah menangis keras. Aku segera mengambil Rain, lalu membawanya keluar. Aku turun ke lantai satu, agar Rain tidak kaget lagi jika Kak Desi berteriak. Aku duduk di ruang tengah. Menenangkan Rain sembari terus menerka. Apa yang terjadi pada kakakku?

Rain sudah tenang beberapa saat kemudian, tetapi aku masih takut membawanya naik ke atas. Apalagi, suara Kak Desi berteriak terdengar dari tempatku sekarang, meski tidak terlalu jelas. Pasti sesuatu yang besar telah terjadi. Kuharap, apa pun itu, bisa segera di atasi.

Hampir sejam aku menunggu. Barulah mereka turun. Bunda berjalan sembari dipapah oleh Ayah. Airmata membanjir di pipinya. Sedangkan Kak Andri, wajahnya mengeras penuh amarah. Aku tidak bisa menebak. Benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.

"Ayah bawa Bunda ke kamar dulu, kamu tunggu sebentar! Abis itu, kita ke rumahnya!" kata Ayah.

Kak Andri mengangguk. Lalu duduk di sampingku. "Kakak nggak nyangka, dia berani melakukan ini."

"Ada apa, Kak?" aku tidak tahan untuk tidak bertanya.

"Tunangan Desi, tiba-tiba bilang ingin membatalkan pernikahan mereka. Padahal persiapannya sudah 50%. Desi ngamuk, tidak terima," Kak Andri mengatakan itu dengan kemarahan berapi-api.

"Lho, kok bisa?"

"Kakak juga nggak tahu, soalnya kata Desi, laki-laki itu hanya memberitahu lewat pesan WA. Makanya, Kakak sama Ayah mau ke rumahnya buat tanyain tentang ini."

"Ya ampun! Kok tega banget. Masa hal begitu lewat WA. Kayak nggak niat banget."

"Kamu jagain Bunda sama Desi, ya! Kakak takut sampai malam pulangnya. Kalau ada apa-apa, langsung telpon Kakak."

Aku mengangguk. Bersamaan dengan itu, Ayah keluar tergesa. Tanpa duduk, langsung mengajak Kak Andri keluar untuk berangkat. Aku menatapi kepergian mereka dengan hati bergetar. Berharap mereka mendapatkan hasil terbaik. Semoga saja, laki-laki yang menjadi tunangan Kak Desi, hanya bercanda mengatakan itu. Meski bercanda untuk hal begitu keterlaluan. Namun, itu lebih baik, daripada dia serius ingin menggagalkan rencana pernikahan yang sudah separuh jalan.

☆☆♡☆☆

Angin berhembus pelan. Aku makan malam sendirian. Bunda dan Kak Desi sama-sama tidak mau keluar dari kamar. Aku sudah mengantarkan makan malam untuk Bunda. Namun, aku tidak bisa masuk ke kamar Kak Desi yang dikunci. Aku sudah berusaha memintanya membuka pintu, namun tidak dibukakan.

Udara malam ini dingin sekali. Entah mengapa, aku merasa perasaanku tidak enak malam ini. Saat akan tidur, aku terus merasa tidak tenang. Seakan, ada hal buruk yang akan terjadi. Dan benar. Tak lama kemudian, aku mendengar suara berdebum keras, disusul suara jeritan Bunda.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang