.
.
.Aku hampir memekik, melihat ada penyusup masuk kamarku lewat jendela. Melotot kaget melihat laki-laki tinggi menjulang berdiri di samping ranjangku. Sebenarnya, tadi aku sudah tidur. Namun, karena suara jendela yang dibuka paksa, membuat aku langsung terjaga dan waspada. Ternyata memang benar. Ada penyusup yang masuk.
"Hai, Mommy! I miss you so bad!" Pria itu menubruk tubuhku yang duduk di ranjang, memasukkanku dalam pelukan hangat. Pelukan yang sangat aku rindukan.
"Kenapa baru datang?" Ini sudah 4 hari aku di kurung di rumah. Tidak pegang ponsel juga. Jadi benar-benar tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Aku sudah menunggu pria ini dari kemarin-kemarin.
"Daddy baru pulang dari Singapura sore tadi. Di sana 3 hari. Kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi? Sayang juga nggak berangkat kerja? Aku sampai nggak bisa fokus kerja di sana, takut banget kamu sama Rain ke napa-napa."
Karena ucapannya, aku kembali teringat apa yang Kak Andri bilang. Hatiku sakit mengingatnya. Masih tidak menyangka ucapan sekejam itu keluar dari laki-laki yang pernah sangat menyayangi dan menjagaku. Aku mungkin memang sudah sangat membuatnya kecewa. Aku sudah begitu tega berkali-kali membohonginya. Namun, tidak harus dibalas dengan ucapan sebegitu kejam. Aku juga punya perasaan.
"Hey, kenapa menangis?" Usapan lembut terasa menyeka cairan bening dari pipiku. Membuat lamunanku buyar.
"Nggak papa. Aku cuman kangen banget sama kamu," jawabku dengan dusta. Aku tidak ingin membuat pria ini kepikiran.
"Beneran nggak mau diajak nikah diam-diam? Kita bisa ngapain aja kalau sudah nikah."
"Enggak," aku berkata dengan galak, keluargaku akan benar-benar menjadikan aku manusia geprek kalau aku kembali berulah.
"Baiklah, pikirkan dulu baik-baik. Nanti kalau berubah pikiran, langsung kabari aku biar aku jemput."
"Jangan ngajarin yang nggak bener!" Cubitku di pinggangnya, "lagian aku nggak akan bisa hubungi kamu. HP aku sudah disita Ayah."
"Hm ... sepertinya keluarga Dira udah tahu aku, ya? Terus nggak bolehin kita ketemu lagi, makanya nyuruh Dira nggak kerja lagi, sama ambil ponselnya Dira?" Tebaknya dengan tepat.
Aku mengangguk lemas. Lalu, menceritakan kejadiannya, dengan tanpa menyertakan kemarahan Kak Andri. Meski begitu, mengingatnya saja sudah membuat air mataku berderaian. Lama sekali aku menangis di pelukannya.
"Kita ... sepertinya harus break dulu. Maksud aku, kita jaga jarak dulu. Jangan sering-sering ketemu! Kamu nggak boleh datang lagi lewat jendela. Dari pada ketahuan nanti malah semakin rumit. Lebih baik, kita turuti mereka dulu. Nanti sambil aku ngobrol sama mereka pelan-pelan."
"No," menatapku dengan tidak percaya. "Kamu bercanda, kan? Aku nggak mau kalau nggak ketemu kamu lagi. Aku nggak bisa, Ra."
"Hanya sebentar saja. Nanti kalau keadaan sudah membaik, kita bisa ketemu lagi. Aku mohon!"
Pria itu menatapku lamat-lamat, seakan merekam setiap sisinya dengan baik. Ada rindu dan kecewa dalam netra biru tuanya. Sama sekali tidak dia coba sembunyikan. Membuatku merasa bersalah. Seharusnya semua menjadi mudah. Aku sudah bertemu dengan Ayah Rain, kami saling mencintai dan sudah berdamai dengan masa lalu. Seharusnya, jalan kami untuk ke jenjang pernikahan lebih mudah. Namun, kenapa malah rumit begini? Jalannya berbelit dan berbelok.
"Kalau kita paksakan sekarang, keadaan bukannya semakin baik, malah jadi tambah rumit. Kumohon mengertilah!" mohonku padanya.
"Terserah kamu," berkata dengan tanpa menatapku. Membuatku tahu, jika dia sedang berusaha untuk menahan amarahnya kepadaku. Dia kecewa. Marah juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...