Bagian 31

535 19 0
                                    

.
.
.

Sekembalinya aku dari dapur, aku semakin tidak bisa tidur. Apa yang Alvin katakan, membuatku terus kepikiran. Apa benar, jika Kevin melakukan hal menjijikkan itu? Bukankah Kevin bilang mencintaiku? Kita bahkan sudah pernah berpacaran. Dan tidak ada tanda-tanda Kevin menyimpang.

Apa Alvin berbohong? Dia ingin aku membenci Kevin dan akhirnya menolaknya besok, karena aku percaya fitnah darinya itu?

Ah tidak. Pasti Alvin hanya menebak saja. Sebenarnya, dia sangat takut aku akan mempertimbangkan Kevin. Seakan mengingatkanku pada janji dan sumpahku saja tidak cukup. Dia ingin membuatku membenci Kevin. Dengan begitu, dia tidak perlu takut aku akan berpaling lagi. Karena selama ini, hanya Kevin satu-satunya pria yang mungkin bisa menggoyahkan hatiku.

Tapi, bagaimana untuk bukti yang Alvin katakan? Apa pria itu benar-benar memiliki bukti? Dan bagaimana jika benar? Aku harus bagaimana?

Ya ampun. Kenapa malah jadi rumit begini? Kalau benar, Kevin seperti yang Alvin katakan, aku akan langsung menolak lamarannya. Tidak sudi aku memiliki orang dengan perilaku menyimpang berada di dekatku. Juga, aku takut, keberadaannya akan memengaruhi tumbuh kembang putraku. Bagaimana jika dia menularkan penyimpangannya itu?

Kepalaku rasanya mau meledak. Begitu banyak yang aku pikirkan. Begitu banyak ketakutan, pertimbangan, dan kekhawatiran yang aku tanggung. Kisahku rumit sekali. Alvin benar-benar menyebalkan. Kevin benar. Kakaknya itu, tidak membiarkanku dekat dengan pria mana pun, padahal dirinya sendiri sudah beristri.

Sepertinya, aku tidak akan bisa tidur. Dan esok pagi, aku akan bangun seperti zombie. Tidak mungkin aku menyambut keluarga Kevin dengan penampilan yang buruk. Meski pun, aku tetap akan menolaknya.

Kubuka perlahan laci nakasku yang paling atas. Mencari obat yang sudah menemaniku hampir dua bulan terakhir, dan menemukannya dengan mudah. Mengambil dua butir, lalu dengan bantuan air putih, aku menelannya dengan mudah. Kepalaku sudah sangat tidak tertahankan. Jadi, aku makan dua butir sekaligus. Membuat mataku langsung berat, hanya beberapa saat setelahnya.

☆☆♡☆☆


Aku masih terlelap, saat merasakan Mbak Asih menggoyang-goyangkan tubuhku. Mataku masih enggan terbuka. Apalagi, semalam aku tidur larut lagi. Atau mungkin, ini pengaruh obat tidur yang belum sepenuhnya hilang.

"Non Dira, bangun! Sudah ditunggu Bunda di bawah. Ini sudah jam 7, lho. Katanya, Den Kevin mau ke sini jam 8."

"Ngapain sih, Mbak? Aku masih ngantuk. Biasanya juga Kevin main ya main aja. Aku beneran masih ngantuk."

"Lho, kan mau acara lamaran, Non? Masa lupa sih? Ini sudah Mbak siapkan gaunnya. Masih harus dandan sama siap-siap juga, kan?"

Aku langsung terduduk. Mengabaikan kepalaku yang berdenyut menyakitkan. Menatap Mbak Asih minta penjelasan. Namun, perempuan itu hanya mengangkat sebuah gaun di tangannya. Berwarna putih dengan potongan sederhana. Manik-manik yang menghias di beberapa bagian, membuatnya terlihat manis.

"Kata Bunda, suruh pakai jilbab, Non. Ini baju yang disiapkan sendiri sama Den Kevin. Sudah ada jilbabnya sekalian. Pasti cantik banget Non Dira pakai ini. Apalagi, Den Rain juga pakai tuxedo warna putih. Pasti kelihatan romantis banget lamarannya nanti."

"Ah, Bunda tahu Kevin mau ke sini?"

"Lho. Ya tahu. Wong Den Kevin sendiri yang bilang ke Ayah sama Bunda Non Dira pas terakhir main ke sini itu."

"Kok aku nggak tahu?"

"Non Dira pas itu lagi tidurin Den Rain di kamar."

Aku hanya mengangguk-angguk saja. Rupanya Kevin benar-benar serius kali ini. Aku harus menyiapkan diri dengan baik. Tidak boleh gegabah mengambil keputusan, mengingat ini melibatkan dua keluarga.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang