Bagian 35

519 15 6
                                    

.
.
.

Aku memerah ASIku dengan perasaan tak menentu. Jika bukan karena dia bilang akan melakukan apa pun, asal aku bersedia memberikan ASIku, tidak sudi aku memberikan ini. Aku akan menggunakan kesempatan ini untuk semakin menghancurkannya.

ASIku cukup banyak karena sejak pagi memang tidak diperah. Hampir penuh tiga botol hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Dari dulu, ASIku memang deras sekali. Tidak peduli bagaimana kondisiku, tidak mempengaruhinya.

"Terimakasih, Dira!" Alvin menerima botol dariku dengan berbinar. "Boleh minta tolong tungguin Rain sebentar? Tadi aku sudah selesai masak untuk makan malam, tinggal dihidangkan di ruang makan dulu."

"Tidak. Urus sendiri anakmu! Dan siapa yang mau makan di ruang makan? Siapkan makan malamku di kamar, aku tunggu!" Aku berjalan ke kamar setelah itu. Meninggalkannya di depan pintu kamar.

Makanan datang sepuluh menit kemudian. Tepat saat tangisan keras bocah sialan itu terdengar. Sangat menyebalkan. Mengganggu pendengaranku.

"Aku tidak bisa menemani kamu makan. Maaf ya, aku tinggal. Kasihan Rain menangis." Wajahnya memohon. Gusar sekali karena tangisan bocah itu.

"Oh begitu? Jadi bocah itu lebih penting daripada aku?" Aku masih menahannya, agar bocah itu menangis semakin lama. Aku yakin laki-laki di depanku ini akan sangat tersiksa mendengarnya. Itu kan memang tujuanku menikah dengannya.

"Bu-bukan begitu. Tapi, bagaimana kalau aku ambil sebentar, lalu aku bawa ke sini Rainnya?" katanya dengan kalut, membuatku menikmatinya. Tangisan di luar semakin keras.

"Enggak! Aku tidak sudi melihatnya." Aku mulai makan tanpa melihatnya lagi.

Tangisan di luar menjadi semakin keras. Bocah itu, mulai bandel sekarang. Lihatlah. Tangisannya sudah sangat keras begini. Apa karena bersama bapaknya, dia jadi semakin manja? Benar-benar tidak bisa dibiarkan. Aku akan buat dia berhenti.

"Dira! Aku mohon! Rain belum minum susu sejak tadi sore," suara lirih penuh putus asa. "Aku takut Rain jatuh, soalnya dia sudah merangkak ke mana-mana."

"Apa peduliku? Tunggu aku selesai, baru temui dia," kataku yang sengaja memperlama durasi makanku. Agar puas melihat penderitaan yang dia alami.

Suara tangisan itu semakin keras. Nyaris menjerit-jerit. Benar-benar manja sekarang bocah ini.

"Mungkin kamu akan marah setelah ini, tapi aku benar-benar tidak bisa mendengar tangisan menyayat Rain," habis berkata begitu, dia berlari keluar.

Sialan. Dia benar-benar tidak mendengar perintahku? Aku akan memberikannya pelajaran. Lihat saja. Apa yang akan dia dapat setelah ini. Sesuatu yang akan dia sesali kemudian.

☆☆♡☆☆

Aku menonton televisi sembari memakan cemilan di toples dalam pangkuanku. Aku memang sangat suka makan cemilan di malam hari. Beruntung aku tidak memiliki bakat gemuk, jadi makan apa pun dan kapan pun tetap oke. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, tapi rasa kantuk belum menghampiri sama sekali.

Tayangan kesukaanku akan berakhir sebentar lagi. Aku hanya menonton TV sampai tayangan itu berakhir. Kuletakkan toples cemilanku di meja. Aku mematikan TV saat tayangan belum selesai. Berjalan sembari menonton layar ponsel, aku menuju kamarku.

Rasa dingin membuatku ingin segera bergelung di atas ranjang. Kantuk membuatku menguap, padahal sebelumnya tidak berasa. Pesona bantal yang berjajar di kepala ranjang memang luar biasa. Mengabaikan cuci muka dan sikat gigi sebelum tidur yang biasa aku lakukan, langsung saja aku merebahkan tubuhku di atas ranjang.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang