Bagian 38

452 22 10
                                    

.
.
.

"Dira!"

Orang yang kutunggu akhirnya datang juga.

"Ah Denis. Lama banget?" Aku berdiri dari posisi dudukku.

"Maaf. Setelah parkir tadi ke kamar mandi dulu," katanya seraya memunculkan ekspresi bersalah yang menggemaskan.

"Tidak apa-apa." Melihat laki-laki di depanku yang terlihat bingung dengan apa yang terjadi, aku merasa harus menjelaskannya. "Ah! Ini Denis, kekasihku. Terima kasih sudah menyiapkan makan malam untuk kami. Karena dia sudah datang, sepertinya kamu tidak lagi dibutuhkan di sini."

"Dira?" Dia melihat tak percaya padaku. Tak menyangka aku akan melakukan hal ini padanya.

"Tapi kalau ingin tetap di sini juga tidak apa-apa. Lagipula tempat ini cukup luas." Aku tersenyum padanya.

"Apa maksud kamu? Jadi, ini masih dalam rangkaian balas dendam kamu?" katanya sembari berdiri mendekap putranya itu di dada.

"Tentu saja," kataku enteng tanpa merasa bersalah.

"Kupikir malam ini dendammu berakhir. Kupikir esok hari akan menjadi pagi baru untuk kita. Kupikir akhirnya esok hari aku akan memiliki keluarga yang bahagia. Hal paling aku impikan seumur hidupku. Aku terlalu menginginkan keluarga kecil yang bahagia, seperti yang orang lain rasakan, hingga melupakan betapa bencinya kamu sama aku," katanya tanpa jeda.

Air mata? Dia menangis? Itu artinya rencanaku berhasil. Siang tadi, aku menyuruh pria itu untuk menyiapkan makan malam romantis. Dia bahkan menyewa satu restoran untuk itu. Dan tepat sebelum makan dimulai, aku memberikan kejutan ini. Karena memang sebenarnya, aku mengajak Denis makan malam untuk berterima kasih atas infonya kemarin. Bukan untuk makan malam dengannya. Dianya saja yang terlalu percaya diri.

"Terima kasih sudah membuat aku merasakan kebahagiaan tak terkira meski hanya sebentar. Aku tahu, perjuanganku masih sangat jauh untuk mendapatkan kamu. Semoga aku bisa bertahan hingga nanti mendapat hatimu," itu kalimat terakhir yang dia katakan, sebelum kemudian dia pergi dari sana. Membawa bayi dalam dekapannya.

Aku menatap punggungnya yang menghilang ditelan tangga. Ada sedikit perasaan tidak rela melihatnya pergi. Juga, rasa bersalah yang tak bisa aku jelaskan. Mengingat betapa pria itu bersemangat sepanjang hari ini, karena mengira aku sudah luluh. Ternyata aku hempaskan dengan keras harapannya malam ini. Apa aku sudah sangat keterlaluan?

☆☆♡☆☆

Aku menguap beberapa kali. Matahari sudah tinggi, namun aku baru terbangun. Semalam aku tidur sedikit larut. Setelah makan malam, aku dan Denis menonton balapan motor teman-teman kampusnya. Jadi dia mengantarku pulang setelah menjelang tengah malam. Dan sebelum tidur, aku berenang dulu lebih dari setengah jam.

Semalam, setelah dia pergi dari rumah makan, aku dan Denis makan malam sambil bercerita banyak hal. Dia yang sangat pengertian itu sama sekali tidak menyinggung masalah sebelumnya. Membuatku nyaman hingga makan malam selesai.

Saat aku pulang ke rumah, rumah sudah sepi. Lampu depan sudah mati. Kamar juga sudah menyala lampu tidur. Bocah itu sudah tidur di ranjangnya. Alvin juga sudah meringkuk di kasur lantai sebelah ranjangku. Selimutnya menutup seluruh bagian tubuh, hingga hanya sedikit rambutnya yang terlihat.

Aku langsung tidur begitu tubuhku menyentuh ranjang. Meski rambutku masih basah, aku tidak peduli. Dan benar saja, pagi ini kepalaku terasa pusing (hal yang pasti terjadi bila aku tidur dengan rambut masih basah).

Aku bangkit sembari mengerang. Kepalaku berdenyut menyakitkan. Melangkah pelan, aku keluar kamar. Mendengar keributan kecil di dapur. Tumben rumah belum sepi? Pikirku. Aku menuju ke dapur dan menemukan bocah itu duduk di sofa bayinya, memegang mainan kecil yang berbunyi saat terkena tekanan.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang