59. Kerinduan

452 33 0
                                    

***

Aku menjemur pakaian sembari tiada henti menggerutu. Tega-teganya Dira menipuku, padahal aku sudah sangat menginginkannya. Apa wanita itu tidak tahu sudah berapa lama milikku hibernasi? Sangat menjengkelkan ketika dia bangun dan siap tempur, ternyata gagal. Rasanya menyakitkan sampai ke ubun-ubun.

"Ada apa, Mas?" tanya seorang ibu paruh baya yang sedang menyapu di halaman rumah, tepat di sebelah rumah Dira. Rupanya dia sempat melihatku yang tadi menendang tiang jemuran.

"A-ah enggak papa, Buk!" kataku dengan malu sekali.

Kikikan geli membuatku menoleh. Dira di sana sudah memakai gamis dan jilbab. Membuatku yang masih jengkel sempat terpana. Dira cantik sekali. Tidak akan ada yang percaya kalau wanita ini sudah pernah melahirkan 4 orang anak. Tubuhnya masih seperti gadis. Segera aku berdehem, menarik diriku dari pesonanya. Kemudian, aku kembali menjemur pakaian, pura-pura mengabaikannya.

"Mbak Dira! Itu siapanya, ya?" tanya perempuan tadi yang malah menonton kami berdua.

"Oh, ini bapaknya anak-anak, Buk!" Dira berjalan mendekat ke perempuan paruh baya itu.

"Nah, kemarin pas saya lihat Si Masnya jalan sama Alan lewat depan rumah saya, dalam hati saya sudah mbatin, Masnya pasti suaminya Mbak Dira. Lha wong wajahnya persis banget sama Lisa. Apalagi, tubuhnya tinggi, putih sama mancung model bule. Mencolok sekali penampilannya." Wanita itu meletakkan sapunya, kemudian duduk berjejeran dengan Dira.

Aku berdecak sebal. Mereka seperti perempuan suka ngerumpi yang sedang membicarakan orang yang baru saja lewat. Padahal, aku yang dibicarakan jelas-jelas masih ada di dekat mereka. Tapi, mereka membicarakanku seakan aku tidak mendengarnya. Jangan lupakan tatapan kedua wanita itu yang membuatku risih! Dira benar-benar sudah ketularan kebiasaan ngerumpi orang kampung ini.

Dira masih saja asyik membicarakanku di depanku. Sama sekali tidak membantuku menjemur pakaian yang tidak sedikit. Sampai akhirnya aku selesai, mereka belum juga beranjak. Dengan kesal, aku masuk ke dalam rumah. Berjalan ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimakan. Perutku sudah lapar sekali.

Ada nasi yang sudah matang. Selain itu, hanya ada telur yang belum digoreng dan botol kecap di sampingnya. Apa Dira berniat memberi kami makan telur kecap lagi? Bagaimana jika anak-anak bosan?

Aku melihat-lihat persediaan apa saja yang ada. Lalu, masih dengan tubuh bagian bawah terlilit kain dan atasan polos, aku mulai memasak 5 butir telur yang tersedia. Setelah sempat berpikir sebentar, apa yang sekiranya akan disukai anak-anak. Jadilah aku memutuskan untuk memasak telur orak-arik. Semoga anak-anak suka.

"Masak apa?" Dira masuk dan berdiri di sampingku. Melihat apa yang aku kerjakan.

Aku hanya diam tidak merespon. Berharap Dira membujukku. Namun, malah cubitan di pinggang yang aku dapatkan. Itu pun bukan cubitan sayang, melainkan cubitan keras yang menyakitkan.

"Gitu aja ngambek," katanya dengan tanpa rasa bersalah. Membuatku semakin kesal.

Aku mematikan kompor yang sedang menumis bumbu. Menarik kuat tangan Dira hingga dia menubruk dadaku. Sebelah tanganku menahan pinggangnya, sedang satu yang lain masih memegang lengannya. Kuamati baik-baik wajah cantik yang tak pernah hilang dari pikiranku ini. Wajah yang dulu polos dan mudah merajuk, sudah menjadi wajah dewasa yang keibuan.

Kunaikkan tanganku di belakang tubuh Dira, lalu kutarik lembut tubuh itu, agar tubuh depan kami saling menempel satu sama lain. Kubiarkan Dira merasakan sendiri, betapa aku menginginkannya. Aku menikmati betapa wajah lembut Dira terkejut oleh tindakanku. Degup jantungnya terasa di dadaku. Semburat merah di pipinya, membuatku semakin bersemangat lagi.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang