***Sebenarnya, aku ingin lebih lama di rumah yang lama. Namun, Rain di rumah sendirian, membuatku tidak tega. Akhirnya, sore harinya, aku memutuskan untuk pulang. Aku akan datang lagi nanti malam atau besok pagi-pagi.
Aku bersiul pelan. Persis seperti remaja yang kasmaran. Bagaimana tidak? Aku sudah sempat mendapat jatah lagi ketika anak-anak tidur siang tadi. Padahal, semalam kami baru saja bertempur lama sekali. Dira bilang, ingin segera hamil. Aku dengan senang hati, ingin mengabulkannya secepat mungkin.
"Dira padahal baru 22 tahun sekarang. Tapi, sudah mau punya anak 5. Ya ampun, aku benar-benar gila! Tapi, aku nggak bisa berhenti menghamilinya!"
Aku berhenti di depan rumah. Sebelum turun, aku mengecek CCTV yang terhubung di ponselku. Menemukan anak-anak belum bangun dari tidur siang. Dira sendiri, sedang di halaman belakang. Apa dia akan berenang? Pasti akan menyenangkan melihat gadis itu meliuk ke sana ke mari seperti dulu. Ya ampun, aku sudah menginginkannya kembali, padahal baru saja membuatnya kelelahan.
Aku buru-buru memasang earphone ke telingaku, saat kulihat Dira meletakkan ponselnya di pipi. Seperti hendak menelepon seseorang. Siapa? Dira tidak pernah terlihat memiliki orang yang dekat dengannya.
"Dia sudah pulang. Baru saja pulang. Benar-benar pulang, meski aku sudah mencoba menahannya. Mungkin, dia ingin lebih bebas menemui wanita itu."
Ucapan Dira yang kudengar, membuatku kaget. Apa yang Dira katakan? Apa yang dia pikirkan? Dira menangis. Kenapa? Apa dia berpikir, aku akan menemui wanita lain? Tuhan ... dari mana Dira mengambil kesimpulan itu?
"Aku ingin mencegah, tapi aku tidak bisa. Aku takut dia marah. Aku takut, dia kembali seperti 5 tahun yang lalu. Kemarahannya benar-benar menakutkan. Meski aku benci terus berdekatan dengannya, aku hanya bisa pasrah. Aku capek hidup menderita. Hanya dengan pura-pura bahagia di sampingnya, aku bisa hidup enak. Tanpa harus berpikir besok makan apa. Aku hanya perlu menutup mata, kan? Bahkan jika dia berselingkuh dengan wanita lain, aku tidak akan protes. Aku akan diam. Aku tidak akan membuatnya marah lagi."
Mataku sudah menggenang. Itukah alasan Dira mau kembali ke sisiku? Bukan karena dia masih mencintaiku, tapi karena terpaksa. Dia dipaksa oleh keadaan. Tuhan ... aku sakit mendengar pengakuannya.
"Aku tahu. Ini bukan bahagia yang sebenarnya. Tapi, pergi darinya juga bukan bahagia yang sebenarnya. Ini jalan terbaik ... menurutku. Aku nggak mungkin kembali pada keluargaku yang sudah melukaiku. Biarlah begini. Aku akan menuruti kemauan pria itu. Akan aku terima, jika harus hamil dan melahirkan anaknya setiap tahun. Asal dia menghidupiku dan menjamin anak-anakku, aku tidak masalah. Itulah mengapa aku ingin segera hamil, agar pria itu tidak terpikir untuk meninggalkanku."
Ra, inikah yang kamu pikirkan tentangku? Inikah alasan dia minum obat yang mempercepat datang bulannya? Dira ingin cepat hamil karena hal ini? Ya Tuhan.
"Aku tahu. Posisiku di sampingnya memang tidak kuat. Kami hanya menikah siri. Dia bisa sewaktu-waktu menikahi wanita lain secara sah. Tapi, aku tidak berdaya. Selama dia masih memperlakukan aku dengan baik, aku tidak akan mempermasalahkan hal ini. Aku mendapati jalan buntu. Aku tidak bisa kemana pun selain bersamanya ... sekarang ini. Mungkin, jika dia kembali seperti dulu, satu-satunya jalan untukku adalah mengakhiri hidup."
Diam. Dira mungkin sedang mendengarkan ucapan lawan bicaranya yang aku tidak bisa dengar. Dengan air mata bercucuran, aku menunggu. Sakit sekali rasanya hatiku. Dira salah paham terlalu jauh, tapi tidak pernah bilang padaku. Jika ada masalah antara kami lagi, dia masih berpikir untuk pergi. Bukan hanya pergi menghilang seperti sebelumnya. Namun, pergi jauh dariku untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...