.
.
.Sudah tiga hari aku menunggu. Berharap dengan cemas. Dalam kebimbangan dan kegamangan jiwa, yang masih belum sepenuhnya bisa menerima. Mencabik-cabik sendiri hatiku yang baru saja hendak pulih. Mencoba memperbaiki yang masih bisa diperbaiki. Demi sebuah ikatan keluarga. Tidak peduli, jika itu semua, membuatku seakan memakan hatiku sendiri.
Ya. Aku lebih memilih kebahagiaan Kak Desi. Mungkin, jika pernikahan itu terjadi, Bunda akan sembuh, Ayah akan tersentuh, dan Kak Andri akan luluh. Kupikir, ini jalan terbaik satu-satunya. Setidaknya, jika Kak Desi bisa melanjutkan hidup, tidak akan ada kemalangan lagi yang menimpa keluargaku.
Aku tahu. Aku terlalu naif dan bodoh. Menelan seorang diri pil pahit kehidupanku. Kembali seperti dulu, menanggungnya sendiri di pundakku. Sok tegar dan sok kuat. Padahal, aku pun rapuh dan mudah tersakiti.
Aku bisa saja egois, dengan memilih kebahagiaanku sendiri. Melanjutkan rencanaku untuk menjebak pria itu seumur hidup bersamaku. Membuatnya bertanggungjawab dengan menanggung masa depanku di pundaknya. Dan aku, tidak akan takut apa pun saat dengannya. Pria itu, punya semua hal yang akan membuat hidupku bahagia. Namun, hati nuraniku bertentangan dengan itu.
Jika aku memilih Alvin, maka keluargaku benar-benar akan membenciku seumur hidup. Mereka akan selalu mengingatku sebagai seorang adik yang merebut calon suami kakaknya. Dan untuk hidup sebagai orang yang dibenci keluarganya sendiri, aku tidak akan bisa.
Mereka adalah segalanya untukku. Tidak peduli apa yang terjadi sekarang, mereka pernah menjadi yang paling berarti untukku. Mereka pernah menyiramiku dengan cinta dan kasih sayang tak bersyarat. Bahkan, hingga detik ini, mereka masih menjadi rumah untukku. Tempat aku pulang.
Apalah aku tanpa mereka. Hanya dengan melihat mereka saja, aku sudah merasa memiliki segalanya. Mereka begitu berarti untukku.
Dengan langkah pelan, aku menuruni tangga. Rain ada dalam dekapanku. Karena memang waktunya sarapan, aku ke meja makan. Menemukan Ayah dan Bunda sudah duduk di sana. Bunda langsung menyambut dengan senyum lembut. Ayah menyapa Rain sebentar.
Lalu, aku pun duduk di sebelah Bunda. Melihat bahwa piring mereka sudah terisi, aku hendak mengambil isi untuk piringku. Mengambil sedikit nasi, lalu ayam goreng dan sambal. Sedikit lalapan dan sebuah tempe bacem. Mengabaikan sup daging yang kuahnya masih mengepul dan menguarkan harum kaldu yang menggugah.
"Jangan terlalu banyak makan sambal!" tegur Bunda, membuatku meringis kikuk.
"Ini aja kok, janji nanti nggak nambah lagi sambalnya," bujukku pada Bunda, yang membuatnya geleng-geleng kepala.
Kami mulai makan dengan tenang. Dan di tengah-tengah acara sarapan, Kak Andri datang dengan Kak Desi di gendongan depannya. Memang Kak Desi belum bisa berjalan tanpa bantuan. Bunda sebenarnya menyuruhnya menempati kamar di lantai 1 dulu selama masa pemulihan, agar tidak repot naik turun tangga. Namun, Kak Desi menolak. Tidak berkenan tinggal di kamar yang bukan miliknya. Dan beruntungnya, sepulang dari rumah sakit, Kak Desi hampir tidak pernah turun ke lantai bawah. Kecuali untuk ke rumah sakit kontrol.
"Ndri?" Ayah bertanya begitu Kak Desi didudukkan di salah satu kursi meja makan.
"Desi mau ikut sarapan, Yah," jawab Kak Andri dengan senyum lebar di bibirnya.
Ayah dan Bunda masih mengerutkan kening. Pasalnya, Kak Desi benar-benar berbeda pagi ini. Penampilannya bersih dan rapi. Memakai gamis cantik berwarna merah muda, dengan jilbab maroon yang membingkai wajah berpoles make up tipis. Hanya bibir pucatnya yang membuat berbeda dari Kak Desi sebelum sakit dulu. Melihat itu, aku tiba-tiba merasa perasaanku tidak enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...