Bagian 10

1.2K 50 2
                                    

.
.
.


Aku baru selesai mandi pagi, saat mendengar deru mobil Ayah terdengar di depan rumah. Bergegas aku berpakaian dan menyisir rambut. Lalu, aku meraih tubuh Rain yang terbaring di kasurnya. Sebenarnya aku ingin meninggalkannya, tetapi melihatnya sudah bangun, lebih baik aku ajak sekalian.

Sembari menggendong tubuh Rain, aku menuruni tangga. Menyambut Bunda yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan menaiki kursi roda. Sangat senang karena akhirnya Bunda benar-benar pulang hari ini. Meski ini sudah beranjak siang padahal Kak Andri bilang pagi-pagi sekali. Tapi, tidak mengapa.

"Lihat itu anak Bunda. Sejak tadi sudah geger minta dianterin ke rumah sakit. Dibilangin bentar lagi pulang juga nggak percaya," Kak Desi mengadu, membuatku nyengir lebar.

"Sini! Peluk Bunda kalau kangen!" Bunda merentangkan tangannya memintaku untuk menyambutnya.

"Ya ampun. Jangan lari kamu bawa bayi, Dira!" kata Ayah dengan cemas, melihatku melangkah cepat mendekati Bunda dengan tidak sabaran.

Aku berhenti. Memasang senyum, lalu memperbaiki langkahku. Saat tiba di hadapan Bunda, aku menyerahkan Rain ke Kak Desi. Aku memeluk Bundaku dengan erat. Bahkan kami saling bertangisan bersama. Bunda terisak di pundakku, begitu pun aku yang juga terisak di pundaknya. Kami saling menguras kerinduan yang tercipta saat berjauhan.

"Ayo masuk dulu! Bunda kan perlu banyak istirahat." Ayah menegur kami yang lama tidak beranjak.

"Dira antar ke kamar, ya!" Aku mengambil alih belakang kursi roda Bunda. Mendorongnya pelan menuju ke kamar yang berada di lantai 1. Ayah dan Bunda memang tidak suka kamar di lantai atas, katanya capek kalau naik turun tangga. Jadilah kami, anak-anaknya, yang pakai kamar di lantai 2.

"Sebenarnya Bunda sudah sembuh. Sudah bisa jalan. Namun, Ayah kamu terlalu khawatir, makanya nyuruh Bunda pakai kursi roda."

Aku terkekeh. Meski sudah di usia yang tidak muda lagi, Ayah dan Bunda masih sangat romantis sekali. Bukan satu dua kali Ayah kelewat posesif pada bunda. Bahkan, Ayah juga sering cemburu pada Kak Andri, jika Kak Andri dalam mode anak manja. Meski terkadang Kak Andri memang keterlaluan memonopoli Bunda untuk dirinya sendiri. Namun, itu benar-benar aneh. Masa cemburu pada anak sendiri?

"Ayah sayang banget sama Bunda," kataku yang sudah sampai di depan kamar Bunda.

"Iya. Ayah dari dulu begitu. Meski galak dan kadang menyebalkan, Ayahmu sangat mencintai keluarganya. Susah dicari orang seperti itu. Semoga, Dira kelak mendapatkan salah satu yang begitu, ya," kata Bunda saat kubantu duduk selonjoran di atas ranjang dengan bersandar pada headboard.

"Aamiin Ya Allah," gumamku penuh harap.

Meski nyatanya, hatiku sudah tak lagi sama. Aku tidak memiliki keberanian untuk dekat dengan laki-laki. Aku merasa tidak pantas untuk siapa pun. Aku sudah ternoda. Aku sudah tidak utuh lagi. Ada Rain di sisiku. Jadi, siapa pun yang mau denganku, harus menerima Rain apa adanya. Dan itu pasti bukan hal yang mudah. Belum lagi, aib yang aku tanggung, akan ikut terbawa ke keluarga pasanganku nanti. Hm ... semua itu membuatku pesimis. Mungkin benar, aku dan Rain saja sudah cukup. Tidak perlu sosok lainnya.

"Bunda seneng banget lihat Dira sudah pulang." Bunda menggenggam tanganku dan meremasnya dengan lembut. Telaga mata Bunda hampir tumpah.

"Bunda jangan nangis!" Kataku sembari memeluk Bunda, "kan Dira udah pulang."

"Bunda nangis bahagia. Sangat bahagia. Ini rasanya seperti mimpi, saat lihat Dira ada di depan mata Bunda. Meski Ayah bilang ke Bunda saat di rumah sakit kalau Dira sudah pulang, tetapi melihat sendiri Dira ada di sini, membuat Bunda tidak percaya. Dira tahu, saat Dira tidak di rumah, Bunda sering sekali terbayang-bayang, seakan Dira ada di dekat Bunda. Kadang, di beberapa kesempatan, Bunda merasa Dira memanggil-manggil." Bunda menerawang. Membayangkan saat-saat yang dibicarakannya.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang