.
.
."Anak kurang ajar!"
Pipi kiriku memanas merasakan tamparan Ayah yang keras. Kepalaku sampai terlempar ke samping dengan menyakitkan.
"Apa belum cukup kamu pulang membawa bayi yang tidak jelas asal-usulnya? Sehingga menambah lagi aib untuk keluarga ini?"
Sekarang pipi kananku yang memanas. Ayah menampar pipiku berulang kali. Saat rasa perih dan panas di pipiku belum reda, Ayah menyeret rambutku dan melemparkan aku ke ranjang. Baru sedetik tubuhku menyentuh ranjang, Ayah menendang keras kakiku yang menjuntai.
"Selalu saja membuat masalah! Di sekolah membuat masalah, di rumah membuat masalah. Apa yang kamu bisa? Tidak bisakah sedikit saja membuat keluargamu senang? Keluarga yang selalu menahan malu karena sikap kurang ajarmu, sekarang kembali kamu permalukan untuk kesekian kalinya!" Ayah memakiku dengan suara galaknya yang selalu membuatku ketakutan.
"Apa guna hidupmu? Setelah menjadi gadis berandal, berubah menjadi jalang! Apa setelah ini kamu akan menjual tubuhmu untuk semakin membuat kami malu? Menyukai hubungan zina daripada pernikahan? Entah bagaimana aku bisa memiliki anak yang tidak berguna ini?"
Ayah terus mengeluarkan kata-kata kasarnya sembari menghajarku. Aku merasa seluruh tubuhku remuk redam. Ayah memperlakukanku seperti aku seonggok daging tanpa perasaan. Tidak ada kasih sayang dan iba sedikit pun dari seorang ayah untuk putrinya. Seharusnya aku memang tidak pulang. Di rumah ini, aku hanya menjadi aib yang membuat keluargaku malu.
Seandainya Rain tidak ada, mungkin hidupku tidak akan sehancur ini. Seandainya aku membuangnya begitu dia lahir, aku tidak akan menjadi sial seperti ini.
Kak Gita keliru. Kak Gita bohong. Dia bilang, Rain ada karena cinta Tuhan kepadaku. Dia bilang, kalau aku menerima Rain ke dalam hidupku, hidupku akan menjadi lebih baik. Dia bilang, Rain membawa anugrah untukku.
Apa ini sekarang? Kesialan bertubi-tubi, aku rasakan karena kehadirannya. Aku menyesal waktu itu menuruti Kak Gita untuk merawatnya. Aku menyesal waktu itu menerimanya. Seandainya tahu akan begini, aku bunuh dia begitu dia keluar dari perutku.
"Kak Gita, tolong!"
Aku bergumam disisa kesadaran yang aku miliki. Kepalaku semakin berat dan kesadaranku mulai menipis. Mataku tidak bisa lagi terbuka. Aku merasa, inilah saat terakhir dalam hidupku. Aku tidak bersalah. Semua yang menimpaku bukan salahku. Ini salah Rain dan ayahnya. Aku meninggalkan dunia, tanpa harus merasa bersalah pada siapa pun.
Selamat tinggal, Kak Gita!
☆☆♡☆☆
Harapanku untuk mati sia-sia. Nyatanya aku masih bisa terbangun dan melihat keluargaku kembali. Kenapa? Kenapa aku masih hidup? Harusnya aku mati saja. Kata Ayah, aku hanya membawa aib untuk keluarga. Katanya hidupku tidak berguna. Tapi mengapa aku tidak mati saja?
"Dira! Kamu sudah sadar, Sayang?" Bunda menangis di sampingku.
Aku melihat sekitar. Kak Desi dan Alvin menatapku dengan cemas di ujung ranjang, Kak Andri terisak di sampingku, dan Bunda juga menangis. Aku di rumah sakit? Untuk apa mereka menyembuhkanku? Bukankah keluarga mereka akan tanpa cela bila tanpaku?
"Rain menangis karena merindukanmu," Kak Andri menunjukkan Rain di gendongannya padaku.
Aku melihat wajah bocah yang sedang tersenyum itu dengan benci. Semua karena dia. Aku tidak akan mau lagi melihatnya. Dia tersenyum di atas luka dan tangis, yang aku rasakan. Dia hidup, di atas penderitaanku. Bocah ini, sama jahatnya seperti Alvin, yang sudah merusak masa depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...