.
.
."Masih mau ke mana lagi?"
Ayah Rain bertanya, saat kami keluar dari taman. Sudah menjelang siang. Matahari kebetulan tidak terlalu terik. Kami terlalu senang berkeliling taman luas yang berada tepat di Kaki Bukit Selatan. Sampai tidak sabar, jika siang sudah menjelang. Aku melihat jam di ponselku, sudah jam 11, pantas saja aku sudah merasa lapar. Pagi tadi, kami hanya membeli burger untuk dimakan di mobil. Jadi, sekarang aku sudah merasa sangat lapar sekali.
"Nyari makan dulu, mau?" dia bertanya lagi sebelum aku sempat menjawab. Seakan bisa membaca apa yang aku pikirkan.
"Mau." Aku sangat bersemangat, membayangkan nasi padang dengan sambal ijonya yang menggiurkan.
"Dira pengen apa?"
"Terserah."
"Dekat sini ada nasi padang enak banget. Kita ke sana gimana?"
Bukannya menjawab, aku malah menatap laki-laki itu dengan mata melotot. Bagaimana bisa dia mengatakan apa yang ada dalam bayanganku? Jangan-jangan dia bisa membaca pikiran.
"Gimana?"
"Ya. Ke sana saja!" Kataku pada akhirnya. Menyerah untuk mencari tahu, bagaimana laki-laki ini seperti bisa membaca pikiran. Mungkin hanya kebetulan.
Ayah Rain tersenyum, lalu menjalankan mobilnya menuju tempat yang dia maksud. Benar kayanya jika dekat. Hanya dalam beberapa menit kemudian, kami sudah sampai di depan rumah makan padang yang cukup besar dan ramai. Sepertinya masakan di sini enak, melihat betapa banyak yang datang untuk mencicipinya.
Seperti sebelum-sebelumnya, dengan gentlenya, ayah dari putraku ini turun duluan, lalu membukakan pintu di sebelahku. Saat aku turun, telapak tangan besarnya melindungi kepalaku agar tidak terbentur. Persis seperti yang ada di film. Membuat aku merasa berdebar. Apalagi, dalam jarak sedekat ini, aku bisa mencium bau parfum mahalnya yang menenangkan. Entah sejak kapan, aku menyukai semua bau yang laki-laki ini miliki.
"Saya ambil stroler dulu, tunggu sebentar, ya!" Membuka pintu belakang mobil, lalu menarik keluar apa yang dia maksud. Mengaturnya sedemikian rupa, hingga siap untuk dinaiki Rain. Aku takjub melihat betapa cekatannya dia melakukan itu semua. "Biar nggak repot kalau nanti kita makan."
Sejak datang pagi tadi, laki-laki itu tidak membiarkan aku menggendong Rain walau sebentar saja. Katanya, tidak ingin aku kelelahan. Dan juga, dia sangat suka memeluk Rain di dadanya. Beruntung, bayi itu tidak rewel. Seakan tahu, jika yang memeluknya adalah sang ayah.
Kami berjalan masuk ke rumah makan yang terisi separuh itu. Dengan Rain di stroler yang didorong ayahnya. Ayah Rain memintaku mencari tempat duduk dulu, sementara dia yang akan pesan. Aku hanya mengangguk pelan, lalu mendorong Rain bersamaku. Memilih meja di sudut yang bersebelahan dengan jendela. Aku memilih di sudut karena tidak mau menjadi pusat perhatian.
Tak lama berselang, laki-laki berusia matang itu datang menghampiriku. Duduk di kursi yang berseberangan meja denganku. Sedangkan Rain, dibiarkan di dalam strolernya yang diletakkan di samping meja, dengan mainan di tangannya. Ya. Laki-laki itu juga sudah menyiapkan mainan untuk putranya. Benar-benar seorang ayah yang pengertian.
"Pasti nggak mudah, ya, merawat Rain sendirian?" Netranya menyorot padaku. Aku menyelami dalamnya iris biru tua itu dengan seksama. Mendapati di sana, ada rasa bersalah dan penyesalan yang kental.
"Enggak juga. Rain anaknya anteng. Dulu pas tidak di rumah, aku nggak benar-benar sendiri. Ada orang baik yang selalu bantuin aku. Aku berhutang banyak sama dia." Rasanya, aku bukan hanya hutang budi pada Kak Gita. Namun, hutang nyawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...