.
.
."Intinya, Ra, kalau kamu masih tidak mau menghentikan ini, jangan sedih jika dia yang mencintaimu, berbalik menjadi sangat membencimu. Dan kamu yang sangat membencinya, berbalik mencintainya setengah mati. Orang bilang, antara cinta dan benci itu hanya sejauh kedua mata. Tidak saling terlihat, sejatinya mereka sangat dekat."
Aku terbangun tiba-tiba dengan sedikit pusing. Kata-kata itu, membuatku tidak bisa tidur hingga menjelang pagi. Aku bahkan baru terlelap saat jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Dan apa ini? Aku baru tidur satu jam, saat aku merasa ada yang membangunkanku. Ini masih pukul 4.30 pagi.
"Apa sih?" aku berteriak marah, pada laki-laki yang sedang berdiri di samping ranjang, memasang wajah penuh senyumnya.
"I-itu, Gita nyuruh Kakak bangunin Dira."
Ya ampun. Nenek lampir itu benar-benar semena-mena padaku sekarang. Memangnya mau apa bangun sepagi ini? Ini bahkan baru Subuh. Merepotkan sekali.
"Ah!" Aku duduk dan memekik, saat merasa kepalaku sangat sakit, seperti dihantam batu.
"Kamu nggak papa?" tanyanya dengan khawatir sembari memegang pundakku.
"Jangan pegang-pegang!" Aku menampik tangannya di bahuku. "Awas kalau ngadu ke Kak Gita, aku bunuh anak itu!" Aku mengancamnya sebelum melangkah keluar kamar.
"Dira! Ayo kita jalan-jalan! Sejak hamil, Kakak suka jalan pagi-pagi. Mana anak gantengnya? Belum kamu bangunin?" Kak Gita yang sudah menungguku di depan kamar, langsung mendorongku masuk lagi ke kamar. "Bangunin dulu anak gantengku!"
Aku masuk ke kamar dengan kesal. Orang satu itu menyebalkan sekali. Kutatap bayi sialan itu di atas kasurnya. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi pada akhirnya bila Kak Gita datang. Dengan malas aku mengangkat tubuhnya yang mulai berat itu. Dia menggeliat sebentar, sebelum akhirnya mengerjapkan mata beberapa kali lalu menatapku. Senyum manis tersemat di bibir kecilnya.
"Jangan merepotkan, ya!" Aku membawa bocah itu keluar kamar.
"Ganteng! Sudah bangun ya? Gimana tidurnya?Nyenyak? Tidurnya dipelukin Mommy apa Daddy?" Kak Gita menciumi bocah di gendonganku berkali-kali, begitu aku keluar kamar.
"Saya ambil gendongan dulu." Pria itu masuk ke kamar kembali dan keluar beberapa saat kemudian, dengan gendongan instan di tangannya.
Aku menahan beban bocah ini, sembari berjalan. Rasanya sudah sangat lama, aku tidak menggendongnya begini. Tubuhnya bertambah sangat berat sekarang. Meski tanpaku, kasih sayang dari ayahnya tidak kurang sama sekali. Pria itu memanjakannya hingga kadang berlebihan.
Aku terus membawanya dalam diam. Sesekali aku merubah posisinya karena tanganku sakit. Saat pria itu ingin menggantikannya, Kak Gita selalu melarang. Mengatakan bahwa, bayi itu merindukanku.
Kami hanya memutari kompleks. Mereka berdua berjalan di depanku sembari asyik bercengkerama, sedangkan aku berjalan seperti pengasuh anak mereka di belakang. Sangat tidak dianggap sekali. Bahkan aku yang kelelahan membawa bocah itu, tidak mereka hiraukan sama sekali. Sepertinya, Kak Gita sengaja ingin mengerjaiku.
"Sini, biar Kakak yang gendong!" Pria itu sudah berdiri di depanku. Aku terlalu banyak melamun, hingga tidak sadar, jika Kak Gita sedang asyik membeli makanan di pinggir jalan. Pria ini menggunakan kesempatan itu untuk mendekatiku.
Aku langsung menyerahkan bocah gemuk itu padanya. Berjalan dengan kaki menghentak-hentak kesal. Mendahului mereka pulang. Rumah sudah dekat dari sini, aku bisa pulang tanpa mereka. Tidak peduli jika nanti, aku akan mendapatkan omelan panjang, dari ibu hamil yang sekarang belum menyadari apa yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...