.
.
.Aku terbangun saat mendengar suara gorden berderit. Sinar matahari masuk dan langsung memenuhi indra penglihatanku yang baru terbuka. Baru saja aku ingin menutupi wajahku dengan tangan, ada sebuah tangan lebih dulu menutupi menghalangi pandanganku.
"Selamat pagi, Istriku!"
Laki-laki itu berdiri di samping ranjang, berdiri sedikit membungkuk sembari mengulurkan tangan untuk menghalangi mataku dari silau matahari. Senyum di wajahnya tak kalah cerah dari matahari di belakangnya. Dia sudah memakai setelan kerja dengan rapi. Aku yakin dia hanya perlu memakai sepatu untuk berangkat kerja.
Wajahnya sangat cerah. Memesona seperti biasa. Wajah yang menurun persis ke bocah sialan itu memang menawan. Hidung mancung yang menjelaskan bahwa dia keturunan blasteran, rahang tegas dan sorot mata tajam. Bibirnya yang sedikit tebal terlihat pas berada di tempatnya. Namun, aku sama sekali tidak tergoda oleh pesonanya itu. Kebencianku memenuhi setiap rongga hatiku hingga tak bersisa.
"Aku tidak suka tidurku diganggu sepagi ini," kataku lalu berbalik membelakanginya.
"Maaf jika Kakak ganggu Dira. Kakak hanya mau memberi tahu, kalau Kakak mau berangkat ke kantor. Rain akan Kakak bawa, namun persediaan ASInya tinggal satu botol. Kakak pikir, itu tidak akan cukup sampai nanti siang," jelasnya dari belakangku.
"Aarrgghh... Siapkan aku sarapan, nanti aku panggil kalau sudah siap," kataku sembari mengerang malas. Bocah itu benar-benar merepotkan. Setelah semalam membuat tidurku terganggu karena tangisnya, sekarang aku harus bangun pagi-pagi sekali karena dia juga.
"Kakak sudah membuat sarapan. Nasi hangat dengan sup makaroni, ikan bakar, sambal goreng dan coklat hangat kesukaan Dira. Kakak juga membuat salad buah di kulkas," katanya sembari berjalan ke hadapanku.
Sial. Memangnya jam berapa dia bangun?
"Dan ini untuk Dira." Dia menyodorkan sebuah kartu sakti yang akan membantuku membuatnya melarat. "Pakai berapa pun yang Dira mau. Semua uang Kakak untuk Dira dan Rain."
"Pergilah! Tidak usah menungguku mengucap terima kasih, karena aku tidak akan mengucapkannya," kataku karena dia tidak kunjung pergi.
Dia keluar dari kamar. Meninggalkanku yang benar-benar masih sangat malas untuk bangun. Sudah sejak lama, hidupku hanya untuk tidur, makan, minum dan bernafas. Aku tidak lagi melakukan ibadah. Malas. Nasibku sangat sial, jadi untuk apa aku beribadah? Karenanya aku selalu bangun di siang hari. Hidupku memang sangat membosankan. Menyiksa laki-laki brengs*k itu cukup membuat hatiku sedikit senang.
Aku bangun dari ranjang. Meraih alat untuk memerah ASI yang sangat aku benci. Laki-laki itu sudah menyiapkan alat itu di atas nakas. Memerah payudaraku yang sudah keras dengan setengah malas. Bayangan tentang apa saja yang akan aku beli dengan kartu sakti itu nanti, membuat acara menyebalkan ini segera berlalu. Hampir 2 botol penuh, hingga aku merasa payudaraku sudah kosong.
Bocah menyebalkan itu menangis, tepat setelah aku meletakkan kembali pumpingku ke atas nakas. Membuat bapaknya tergopoh-gopoh masuk ke kamar. Rupanya dia tidak ingin aku kembali marah-marah, karena tangisan anak itu sangat menggangguku semalam. Sehingga dia langsung datang begitu anaknya menangis.
"Sudah selesai. Bawa anak itu pergi atau aku akan mencekiknya hingga dia tidak bisa menangis lagi," kataku dengan suara keras. Membuat bocah itu kembali menangis kencang.
"Baiklah," katanya sembari meraih menggendong bayi itu keluar kamar.
Beberapa saat kemudian dia datang sendiri untuk mengambil ASI sekaligus alatnya untuk dia bersihkan. "Terimakasih. Kakak akan berangkat ke kantor sekarang. Siang nanti Kakak akan pulang untuk memasak makan siang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...