.
.
."Apa ada tempat yang bagus di sekitar sini?" aku bertanya setelah terdiam beberapa saat, sejak keluar dari pusat perbelanjaan.
"Tempat apa?" tanyanya memintaku memperjelas maksudku.
"Tempat yang enak untuk ngobrol." Aku masih sibuk berkutat dengan ponselku.
Sebenarnya aku sudah mencoba mencari beberapa tempat yang bisa aku datangi, lewat map di ponsel. Beberapa tempat terlihat menarik. Namun, aku takut tidak sesuai yang dipaparkan di sana. Jadi, bertanya pada pria di sampingku sepertinya opsi yang tepat. Biar bagaimana pun, dia pasti lebih berpengalaman.
"Oh ... ada sebuah tempat rekreasi bagus. Tempatnya di pinggir danau. Meski akhir pekan, tempatnya luas, jadi tersedia banyak tempat untuk ngobrol. Selain itu, kita juga bisa naik perahu di danaunya yang luas. Di sana ...," jelasnya panjang lebar.
"Kita ke sana!" kataku memotong ucapannya. Merasa sudah cukup dengan penjelasan yang dia berikan.
"Seperempat jam dari sini," berkata dengan senyum bertengger di wajahnya.
"Jangan mengajakku bicara sebelum sampai di sana!" Aku melihat ke samping jendela. Tidak tahan melihat kebahagiaan di wajahnya yang terukir jelas.
Bagaimana bisa dia tetap sebahagia itu saat aku terus berusaha menghancurkan hati dan perasaannya? Seberapa luas hati yang dia miliki? Kenapa semakin ke sini, aku merasa semakin bersalah padanya? Merasa sudah sangat keterlaluan. Menyakiti hati pria yang selalu hangat dan tulus padaku. Semoga, apa yang sudah aku putuskan, memanglah yang terbaik.
Karena terlalu sibuk dengan apa yang akan aku katakan padanya nanti, aku merasa perjalanan sangat singkat sekali. Aku bahkan gugup saat dia mengajakku masuk ke tempat itu. Kami berjalan sedikit lebih jauh. Aku bahkan mengeluh karena terlalu jauhnya. Tapi, saat melihat betapa bagus dan indahnya danau itu, aku nyaris berteriak saking senangnya. Sangat indah. Terbayar sudah lelah saat berjalan tadi.
"Aku mau naik perahu. Yang warna merah muda!" Aku berjalan tergesa-gesa menghampiri perahu yang aku maksud.
Dia mengurus semuanya. Sehingga aku hanya tinggal menaikinya. Kami mengayuh perahu berdua. Tidak-tidak, hanya dia yang mengayuh. Kakiku sudah sangat lelah sekali. Setelah sampai sedikit jauh dari daratan dan terpisah dari perahu yang lain, aku memintanya berhenti mengayuh. Membiarkan perahu terombang-ambing di atas air. Mengikuti ke mana air akan membawanya.
"Kenapa?" Aku menggeser tubuhku sehingga menghadapnya.
Kutatap lekat wajahnya yang melihatku bingung. Pertanyaanku yang tiba-tiba, pasti membuatnya tidak tahu harus menjawab apa. Aku nikmati saat wajah tampannya, mengerut tanda berfikir keras. Wajahnya kenapa bisa benar-benar mirip dengan putranya? Apa Tuhan sengaja ingin mengikat kami dengan hadirnya Rain?
Aku melarikan tanganku mengusap keningnya yang berkerut. Mengusapnya pelan, lalu turun ke mata birunya yang luar biasa indah. Dia menutup matanya. Membiarkan aku menikmati apa yang kulakukan. Tanganku membelai hidung mancungnya, lalu mengusap lembut bibirnya yang sedikit tebal. Turun ke leher dan jakunnya, lalu meletakkan tanganku ke dada kokohnya.
"Aku selalu merindukan, bagaimana kokohnya dada ini untuk bersandar," kataku sembari mengusap naik turun dadanya dengan lembut.
Dia membuka mata. Menatapku tidak percaya. Seakan aku baru saja mengatakan, bahwa esok kiamat akan datang. Tanganku masih bertahan di dadanya, tapi mataku sudah menatap berani mata tajamnya. Menikmati betapa tampan suamiku ini.
"Dari siapa wajah bule ini?" Wajah Kak Alvin memang sangat bule sekali. Jika orang tidak tahu, pasti mengira dia orang luar yang sedang di Indonesia.
"Dari Mommy," jawabnya. Aku melihat ada kilatan berbeda saat dia mengatakan itu. Aku yakin, itu bukan sesuatu yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...