Bagian 44

452 18 0
                                    

.
.
.

Pagi masih gelap, saat aku terbangun. Kak Alvin tidak ada di sisiku. Ke mana pria itu? Kebiasaan sekali, meninggalkan istrinya yang sedang tidur. Oh, Rain ikut dengannya. Membuatku bertambah kesal. Terkadang, aku merasa Kak Alvin lebih menyayangi Rain dari pada aku. Tapi biarlah. Toh, Rain juga anakku sendiri.

Menggeliat sebentar, aku merasa hawa dingin dari pendingin ruangan, menusuk punggung telanjangku. Membuatku ingat lagi, malam-malam panas yang kami lewati di kamar ini. Kami seperti pengantin baru. Kak Alvin tidak pernah membiarkanku semalam saja tidur dengan tenang. Seakan sudah menjadi rutinitas kami sebelum tidur.

Ini adalah pagi ke 60 aku menjadi istri laki-laki itu. Dan hari ke 28 semenjak aku melepas dendam. Tidak ada yang berubah, selain hubungan kami yang semakin manis dan romantis. Kak Alvin meski usianya jauh dariku tapi tidak kaku sama sekali. Bahkan, kadang bisa begitu kekanakan seperti bocah.

Tidak ada yang lebih membahagiakan, selain menghabiskan hari dengan laki-laki pujaan hati. Apalagi, keberadaan putra menggemaskan kami yang semakin subur. Rain sudah merambat-rambat sekarang. Usianya sudah 8 bulan. Tubuh berisinya, tidak menjadi penghalang untuk beraktivitas.

Salahkan saja koki kesayangan rumah kami, yang setiap hari memberikan kami makanan enak, sehingga tubuh kami menggendat secara bersamaan. Ya ampun, aku bahkan merasa memiliki lemak yang berat di perut. Salahku sendiri sih, tidak pernah mau olahraga. Padahal Kak Alvin sering ngajakin.

Dan ternyata, yang kita bicarakan, sedang sibuk di dapur berdua. Sosok pria dewasanya, berdiri di depan kompor memakai apron mocca. Sedangkan versi sachetnya, duduk tak jauh darinya, dengan beberapa panci sebagai mainan.

"Masak apa?" Aku mendekat dan memeluk koki kesayanganku dari belakang.

"Sayang, sudah bangun? Kakak baru mau bangunin habis ini." Tersenyum hangat, serasa matahari terbit dari dapur rumah kami.

"Hu um. Habisnya dingin, nggak ada yang melukin. Masak apa hari ini?" tanyaku dengan masih memeluknya dari belakang. Tidak peduli jika itu membuat gerakannya terganggu.

"Kakak bikin pasta kesukaan Dira. Ini sudah tinggal platting. Mau langsung sarapan sekarang?"

"Hm ... baunya enak sekali. Makan sekarang aja, sambil nunggu matahari terbit. Abis itu kita renang sekalian mandi pagi," kataku yang langsung melepaskannya dan duduk di kursi makan.

"Baik, Nyonya. Akan saya siapkan segera!" Mengedipkan sebelah matanya padaku, yang membuatku langsung tersipu.

"Nyonya siapa?" Aku menimpali candaannya.

"Tentu saja Nyonya Dira Juliano. Sangat indah sekali namanya." Mulai menata pasta di dalam piring.

"Juliano?" Aku mengerutkan kening. "Bukan Utama? Kok beda sama Kevin?"

Kak Alvin terkekeh, lalu terdiam sebentar. Terlihat sedang berpikir. "Nama belakang Kakak, pakai dari Mommy. Permintaan dari keluarga Mommy. Kalau Kevin, dia pakai nama belakang Papa. Jadi beda."

"Oh. Aku baru tahu."

Aku tahu nama papanya Kak Alvin, Alvian Dirga Utama. Sedangkan nama lengkap adiknya, Kevin Setya Novian Utama. Kalau nama lengkap Kak Alvin sendiri, aku belum tahu. Makanya pas tahu nama belakang mereka beda, aku jadi heran.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang