.
.
.Hancur. Aku sudah tidak lagi utuh. Aku bukan lagi kepingan atau serpihan. Tapi, aku benar-benar sudah luluh bagai butiran debu. Aku semakin tidak berniat melanjutkan hidup. Makan pun, jika bukan untuk Rain, aku pasti tidak akan melakukannya. Hanya Rain alasanku tetap hidup.
Ini sudah berlangsung selama beberapa hari, sejak kejadian itu. Dia semakin tidak pernah pulang. Sejak hari di mana dia meninggalkanku di kamar ruang tamu, baru dua kali dia pulang. Itu pun dia tidak menginap. Mataku sudah menghitam persis mata panda. Aku merasa tubuhku semakin kurus. Perutku yang rata bahkan menjadi menonjol saking kurusnya diriku. Setelah memiliki anak, perut memang susah menjadi seperti saat masih perawan.
Rambutku kusut. Aku tidak pernah menyisirnya. Aku juga tidak pernah keramas. Jika gerah, aku akan berenang sebagai ganti mandi. Kulitku kusam tak terawat. Aku seperti mayat hidup. Jika keluar, pasti akan ada yang mengira aku ini zombie.
Beruntung aku tidak pernah keluar. Aku akan pesan antar apa pun yang aku butuhkan. Uang laki-laki itu sangat banyak. Aku tidak akan mati kelaparan meski hanya berdiam diri di rumah. Hanya dengan memegang ponsel pintarku yang baru, aku bisa memiliki apa pun. Aku kembali seperti saat di pengasingan dulu bersama Rain.
Aku bercermin setelah berenang. Pakaianku yang basah menggambarkan dengan jelas betapa kurus keringnya diriku. Pipiku cekung. Bibirku pucat. Mataku menghitam semakin parah dari yang terakhir kali aku berkaca. Tulang rusukku menggambar jelas tanpa daging yang menutupinya. Perutku menonjol karena daging di sekelilingnya menyusut.
Ponselku berdering. Aku mengambilnya lalu berjalan keluar karena tidak mau mengganggu Rain yang sedang tidur.
"Halo, Kak!" hanya dengan mengatakan itu, aku sudah ingin meraung menangis. Kak Gita tiba-tiba saja menelponku. Membuatku ingin menumpahkan segalanya padanya.
"Halo, Sayang! Gimana kabarnya? Kok lama nggak hubungi Kakak? Gantengnya Kakak sehat kan? Udah bisa apa?" suara Kak Gita yang penuh perhatian membuatku benar-benar menangis.
Aku ingin mengadukan semuanya. Mengatakan, betapa akhir-akhir ini suamiku semakin jauh dari jangkauan. Betapa aku resah dengan seringnya kiriman foto suamiku dengan sekretarisnya, yang semakin mesra. Bahkan sesekali dia mengirim foto yang tidak senonoh padaku. Tentu saja. Dengan nafsu sebesar yang dia punya, mana mungkin tahan jika tidak dilampiaskan. Memang dasar laki-laki brengs*k!
"Sayang?" suara Kak Gita membuyarkan lamunanku.
Aku duduk di tepi kolam sembari memasukkan kakiku ke air. Menggerakkan kakiku untuk menghibur diriku sendiri. "Kakak membuatku pusing. Aku harus menjawab yang mana dulu?"
"Kok serak? Kenapa? Lagi sakit apa nangis?" Kak Gita memang peka sekali.
"Nangis. Aku rindu Kakak." Bohongku. Kak Gita sedang hamil sekarang. Aku tidak boleh membuatnya banyak berpikir. Apalagi, kehamilannya sudah mendekati kelahiran.
"Tumben?" Aku sudah tahu Kak Gita tidak akan langsung percaya. Dia memang selalu membuatku kerepotan setiap membohonginya. Setiap ingin membuatnya mempercayai sebuah kebohonganku, selalu membuatku mengeluarkan seribu kebohongan lain.
"Aku sensitif banget akhir-akhir ini," kataku menggigit bibir bawah menahan agar isakku tidak semakin kencang.
"Kenapa? Ya ampun! Jangan bilang Rain mau punya adik?" suara Kak Gita heboh di seberang sana.
"Emang!" jawabku sekenanya.
"Gercep banget? Anjirr ... Tokcer banget punyanya Alvin! Rain belum ada satu tahun padahal," suara Kak Gita membuatku menjauhkan ponselku dari telinga saking kerasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...