Bagian 9

1K 48 1
                                    

.
.
.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidur. Sebenarnya, aku sudah mencoba untuk tidak tidur lagi. Namun, berada dalam pelukan Kak Andri, benar-benar meninabobokanku. Saat terbangun, aku sudah sendirian di sofa. Sekarang sudah jam 8. Bau harum menguar dari dapur, pasti ada yang sedang menyiapkan sarapan. Bergegas aku beranjak ke dapur. Perutku sudah keroncongan.

"Cuci muka dulu, Dira!" Kak Andri menghentikan tanganku yang hendak menyomot pisang bakar dari piring di atas meja.

Aku nyengir. Menarik tanganku yang hampir mencapai piring kemudian bukannya ke kamar mandi, aku malah ke wastafel. Mencuci mukaku di situ. Kak Desi yang sedang menyiapkan sopnya geleng-geleng kepala.

"Joroknya ih!" kata Kak Desi yang hanya kubalas dengan menjulurkan lidah.

Aku duduk di kursi menghadap sepiring pisang bakar kesukaanku. Mulai memakannya dengan rakus meski masih panas. Aku sudah lama tidak merasakan ini. Ini enak seperti biasa. Coklatnya yang meleleh di mulutku benar-benar lezat.

"Habiskan ya!" Kak Andri mengacak rambutku dengan sayang.

Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari piringku. Benar-benar menikmatinya.

"Ck ... mulai deh manjanya!" Kak Desi datang membawa semangkuk sup yang masih mengepul.

Aku hanya terkekeh pelan. Tidak mau menanggapi, karena hanya akan menjadi pertengkaran kecil seperti biasa.

"Kakak kesulitan masak karena perabotan kamu sedikit banget. Mana harus nyari bahan-bahannya dulu buat masak. Kamu benar-benar sama sekali tidak pernah masak?" Kak Desi duduk di sebelahku.

"Kakak kan tahu aku nggak bisa masak," aku berkata sembari mengunyah potongan terakhir pisang bakarku.

"Boros banget kalau beli terus makannya," Kak Desi mulai mengomel persis seperti Bunda.

"Jajan itu nggak sehat Dira," Kak Andri yang sedari tadi diam sekarang ikut berbicara.

"Mau bagaimana lagi," aku mengangkat bahu, meraih tisu untuk membersihkan mulutku. "Dira datang ke sini udah hamil gede. Repot banget harus masak. Belum lagi belanja buat dapur. Udah gitu, masakannya belum tentu enak. Mendingan beli kan, praktis tinggal pakai hp makanan datang. Udah pasti enak," aku mengatakannya dengan ringan. Tak menganggap semua itu sebagai beban. Lagipula, masa itu sudah berlalu.

Kak Desi melihatku dengan iba. Dia pasti merasa bersalah menyinggung masalah tadi. Setelah semalam aku sedikit bercerita, tentang apa yang membuat Rain hadir di hidupku, Kak Desi mulai melunak. Meski ceritaku tidak sepenuhnya jujur, namun juga tidak semuanya bohong. Aku hanya ingin dia tahu, bahwa aku ada di posisiku sekarang karena paksaan keadaan. Bukan atas kemauanku sendiri.

"Ya sudah. Kita makan dulu. Bunda sudah nungguin kita pulang." Kak Andri mulai menyendok nasi putih ke dalam piringnya. Lalu, menyiram nasi yang masih mengepul itu dengan sop yang juga masih mengepul. "Sambelnya nggak ada? Ayam atau apa gitu nggak ada juga?"

"Ya elah. Kakak makan aja apa yang ada. Sop sama nasi juga udah cukup. Kita kan juga habis ini mau pulang. Seadanya aja kita makannya." Kak Desi mulai menyendok nasinya dengan lahap. Meniup-niupnya pelan sebelum memasukkannya ke dalam mulut.

"Ya sudah. Kita makan nasi sama sop hari ini!" ucap Kak Andri dengan bersemangat, membuat aku dan Kak Desi saling tatap keheranan.

"Tumben Kakak nggak protes?" Kak Desi mengutarakan apa juga ingin aku katakan.

"Kakak kan prajurit negara. Harus tangguh di setiap keadaan. Masa jaga negara bisa, jaga adik-adik Kakak nggak bisa. Jangankan makan cuman nasi sama sop, makan nasi sama garam juga Kakak siap. Yang penting, keluarga kita kembali ngumpul seperti dulu." Kak Andri menyalurkan semangatnya padaku. Benar. Sekarang yang terpenting, keluarga kami ngumpul seperti dulu.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang