.
.
.Belum pernah aku sepanik ini selama hidupku. Kenihilan Rain membuat hatiku tercabik hingga terasa nyeri. Rain adalah udara yang kuhirup. Tanpanya jantungku tidak mungkin sanggup berdetak lagi.
Tuhan ... selama ini aku belum pernah memohon kepada-Mu. Tapi kali ini, ijinkan aku memohon agar Rainku kembali. Kembalikan dia ke dalam pelukanku. Karena dia adalah satu-satunya yang kumiliki.
Tuhan ... aku tahu Rain adalah titipan yang sewaktu-waktu akan kau ambil. Namun aku mohon, jangan sekarang. Aku tidak siap dan mungkin tidak akan pernah siap kehilangannya.
Layaknya orang gila, aku masih terus menggedor-gedor pintu rumah kontrakan yang berada di depan mataku. Beberapa orang yang melihatku berkali-kali menanyakan ada apa, namun aku hanya bisa menangis tanpa sanggup menjawab. Beberapa tetangga kontrakanku yang selama ini tidak pernah aku sapa, karena aku mengasingkan diri dari mereka, ikut membantu mencari Rainku. Aku hanya terus meracau, yang beruntungnya mereka pahami.
"Rain ... putra saya hilang! Tolong putra saya hilang! Tolong bantu saya cari putra saya! Tolong ... saya tidak bisa hidup tanpa dia. Putra saya ... dibawa pergi orang."
Aku menyesal meninggalkannya. Seharusnya aku tidak meninggalkannya pada orang baru. Oh Tuhan ... Kumohon kembalikan Rainku.
Berbagai do'a dan harapan tak henti kurapal dalam hati. Untuk pertama kalinya sejak aku pergi dari rumah, aku begitu menyesali tindakanku itu. Seandainya aku tidak minggat dari rumah, mungkin Rain akan baik-baik saja karena banyak yang membantuku menjaganya. Seharusnya memang, aku tidak pergi. Seharusnya aku bilang saja pada mereka kalau aku sedang mengandung. Seharusnya ...
"Kalau Rain ketemu, aku janji akan menghubungi Ayah dan Bunda," aku bahkan mengucapkan janji untuk hal yang paling tidak ingin aku lakukan selama ini.
"Tenang dulu, Mbak!" Seorang Ibu menyodorkan segelas air putih padaku yang terduduk bersandar pada pintu kontrakan itu dengan kondisi yang berantakan. Rambutku sudah banyak yang keluar dari kuncir, wajahku pun sembab dan basah oleh airmata.
Kuteguk sedikit air itu karena tenggorokanku sangat kering sekali akibat terlalu banyak berteriak dan menangis. Kupandang ibu paruh baya yang memberiku minum dengan pandangan buram karena air mata sembari menggumamkan terima kasih. Ternyata, orang yang selama ini kujauhi dan tidak kusapa saat bertemu, justru menjadi yang pertama mengulurkan tangan ketika aku terpuruk.
Kukira, aku akan cukup saja bertiga dengan Rain dan Kak Gita. Namun, justru di saat genting seperti ini, Kak Gita tidak bisa membantu banyak. Aku tidak ingin mengganggu waktunya, sehingga di tengah rasa panik, aku hanya memberinya pesan jika Rain hilang. Tidak berani menelponnya. Dan belum terbalas. Sampai sekarang.
"Ayo ke tepi dulu. Biar dibantu yang lain untuk nemuin anaknya Mbak!" Ibu itu langsung menuntunku untuk duduk di kursi kayu depan rumah kontrakan yang tepat bersebelahan dengan kontrakanku itu.
Ibu baik hati ini adalah Bu RT yang rumahnya selisih dua dari rumah yang aku sewa. Dia memang baik. Beberapa kali dia menyapaku meski hanya kubalas sekadarnya. Beberapa kali juga dia datang ke rumah untuk mengajakku ke acara yang diadakan RT, tapi aku selalu menolak. Bu Budi namanya.
"Coba ceritakan bagaimana kejadiannya," Pak Budi mendekatiku setelah aku berhasil meredakan tangisku. Beliau Ketua RT yang sangat disegani masyarakat di sini. Aku sering mendengar cerita baik tentangnya secara tidak sengaja.
Aku menceritakan mulai dari aku pergi sebentar ke minimarket depan, lalu bertemu wanita paruh baya yang mengaku bernama Bu Ajeng, kemudian menceritakan bagaimana Rain bisa bersamanya. Aku tahu ceritaku akan sangat membantu untuk mencari putraku, kuusahakan untuk menceritakannya sejelas mungkin, tak perduli air mata terus berguguran dari sudut mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...