Bagian 7

1.1K 52 2
                                    

.
.
.

Aku melepas pelukan dari Bundaku.

Kupandang dengan kerinduan laki-laki penuh wibawa yang barusan berbicara. Wajahnya terlihat lebih tua dari yang kuingat. Kumis tebalnya yang selalu membuat wajahnya terlihat galak masih setia ditempatnya. Ah, Ayahku yang tegas dan tidak pernah suka basa-basi. Ayahku yang galak. Yang akan menghukumku jika aku bersalah -meski Bunda memohonkan maaf sekali pun, Ayah akan tetap menghukumku jika menurutnya aku salah-. Ayahku yang menurunkan sifat keras kepalanya kepadaku. Ayahku yang susah diajak tawar menawar. Ayahku yang sangat kurindukan.

Bukannya menjawab pertanyaannya, yang aku belum tahu harus bagaimana menjelaskannya, aku justru berjalan mendekatinya, lalu memeluknya erat penuh kerinduan. Meski aku sangat takut dengan kemarahan Ayahku, dia tetap laki-laki yang menjadi cinta pertamaku. Ketegasannya membuatku sering berandai suami yang sepertinya. Laki-laki yang akan melindungiku pertama kali jika aku butuh perlindungan. Laki-laki kaku namun penuh cinta.

Aku kembali menangis saat kurasakan tangan besar Ayah membelai rambutku. Meski galak, Ayah sangat mencintai anak-anaknya. Percayalah, Ayah memang akan menghukum anaknya jika anaknya bersalah -tanpa toleransi-, namun Ayah juga yang akan pertama kali turun tangan jika anaknya sedang terpuruk.

Masih basah dalam ingatanku, saat dulu -ketika aku berusia 13 tahun-, aku pernah bertengkar dengan sahabat dekatku hanya karena laki-laki yang dicintainya mencintaiku.

Dia menyebarkan rahasia yang kubagi dengannya. Tentang aku yang belum berani tidur sendiri. Tentang aku yang mencintai ketua kelasku namun tidak berani mengatakannya. Aku yang pernah tidak sengaja melihat film dewasa dilaptop kakak laki-lakiku. Pokoknya segala hal yang kuanggap rahasia dia sebarkan.

Padahal, kami berteman sejak masih kanak-kanak. Rumahnya sudah seperti rumahku, saking seringnya aku main dan menginap di sana. Begitu pun sebaliknya. Orangtua kami berhubungan baik. Rumah kami berhadapan terbatas jalan kecil kompleks. Saking dekatnya kami sudah seperti saudara. Namun, hanya karena masalah laki-laki dia memutuskan segalanya.

Aku mencoba diam saja, meski akhirnya di sekolah aku tidak lagi memiliki teman. Aku diam meski dia sering mengolokku dengan teman-teman barunya. Aku tidak cerita ke orangtuaku jika dia mulai mengatakan yang tidak-tidak tentangku.

Namun, Ayah -yang entah tahu masalah ini dari mana- tidak diam saja. Dia menemui kedua orangtuanya, lalu mengatakan permasalahan yang terjadi antara kami -tentu saja sebatas yang Ayah tahu-. Tiga hari ditunggu ternyata mereka tidak mengambil langkah yang tegas, akhirnya Ayah memindahkan aku ke sekolah lain. Bukan hanya itu, sebulan kemudian, kami juga pindah rumah. Ayah beralasan rumah yang lama kurang luas, padahal aku mengerti alasan sebenarnya.

Ayahku memang tidak pernah bisa mengatakan cinta langsung. Namun cintanya untuk kami -anak-anaknya-, sungguh besar tiada terkira. Dia tunjukkan lewat apa yang dia lakukan. Berbeda dengan Ibu yang sangat mudah mengatakan sayang dan cinta.

"Ayah jadi sering begadang setelah kamu pergi. Katanya karena yang biasanya marah saat melihat Ayah tidur malam tidak ada," itu suara Kak Desi. Kakakku yang lima tahun lebih tua dariku. Aku memang sangat tidak suka jika Ayah begadang. Aku tidak akan berhenti mengomel sebelum Ayah menuruti apa yang aku katakan. Itu bukan salahku, tentu saja aku tidak mau disalahkan. Ini salah Ayah yang menurunkan sifat keras kepala miliknya kepadaku.

"Pulang, Dira! Ayah jadi bandel kalau Dira tidak ada. Kamu tahu, Ayah kembali merokok kadang-kadang. Padahal dua tahun belakangan dia berhenti sama sekali karena nasihatmu," kata Bunda.

"Oh ya? Ayah merokok lagi?," aku melepas pelukan, menarik kepalaku sedikit ke belakang, menjauh dari Ayah agar bisa melihat wajah Ayahku, mencari tahu apa yang diucapkan mereka benar.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang