.
.
.Kembali aku melihat jam di pergelangan tanganku. Sudah hampir tengah malam. Seharusnya aku sudah pulang dan istirahat. Melepas lelah bersama keluarga di rumah. Nyatanya di malam selarut ini, aku masih bergelut di kantor.
Menggabungkan dua perusahaan besar, bukan hal yang mudah. Banyak sekali yang harus aku selesaikan. Apalagi, Daddy sudah hampir sebulan ini belum juga pulang dari acara keliling Eropanya. Membuatku keteteran. Meski pun sudah ada sekretaris pribadi Daddy yang membantuku.
Aku melepas kaca mata baca yang hampir seharian ini tidak berpindah dari tempatnya. Mengurut keningku yang terasa pusing. Mataku berdenyut. Menarik napas panjang, aku menyandarkan tubuhku ke kursi. Sebenarnya, sejak kemarin aku sudah mengetahui sinyal tubuhku yang minta istirahat. Namun, aku mengabaikannya.
"Sam, buatkan kopi lagi!" kataku pada Samuel yang selalu siap menerima perintah.
"Ta-tapi hari ini, Tuan sudah habis 5 gelas kopi. Dokter Bram bilang, Tuan harus mengurangi kopi dulu!"
Aku berdecak. Dokter Bram adalah dokter pribadiku. Dia yang paling tahu kondisi tubuhku. Dan Sam adalah orang yang paling peduli pada apa pun yang Dokter Bram katakan.
"Satu gelas lagi. Terakhir untuk hari ini!" perintahku bersikeras.
Sam menatapku sedikit lebih lama. Melihatku yang tidak ingin dibantah, akhirnya Samuel keluar. Sepuluh menit kemudian, dia kembali dengan secangkir kopi yang masih mengepul. Aku langsung menerimanya. Berharap sakit kepalaku akan hilang setelah meminumnya.
Baru saja cangkir kopi berpindah ke tanganku, aku merasa tanganku lemas dan bergetar. Menyebabkan cangkir itu jatuh dan pecah di lantai. Bersamaan dengan itu, kepalaku berkunang dan berdenyut dengan menyakitkan. Aku mengerang kesakitan.
"Tuan! Saya akan panggilkan Dokter Bram!" Samuel bergegas menelepon dokter paruh baya yang siap dipanggil kapan saja. Namun, aku menahannya.
"Tidak perlu. Antar saya pulang saja!"
Kupikir aku hanya kelelahan. Istirahat sebentar malam ini, besok pagi juga sembuh. Ada Dira di rumah yang akan merawatku. Aku tidak butuh selainnya lagi. Keluarga kecilku selalu bisa menjadi obat untuk semua lelah dan letihnya pekerjaan.
Sam masih bersikeras ingin memanggil Dokter Bram dulu untuk memeriksaku. Namun, aku tidak kalah keras kepalanya. Akhirnya Sam mengantarku pulang. Sampai di rumah sudah sepi, aku menyuruhnya untuk tidak membangunkan siapa pun. Aku langsung masuk ke kamar. Menemukan Dira yang sudah meringkuk di dalam selimut. Tanpa kata, aku langsung ikut masuk ke dalam selimut yang sama. Memejamkan mata, berusaha untuk terlelap.
"Kak!" suara serak Dira terdengar, padahal aku sudah berusaha untuk tidak mengusiknya.
"Hm!" aku bergumam lemah. Tubuhku terasa lemas sekali. "Tidur saja!" kataku mencegahnya bangun.
Dira pasti sangat lelah, sehingga langsung menurutiku tanpa kata. Napasnya kembali teratur. Aku lega karena tidak mengganggu tidurnya. Namun, baru saja aku hendak terlelap, perutku terasa bergejolak. Dengan terburu-buru, aku melangkah ke kamar mandi. Terkulai lemas di kloset sembari mengeluarkan isi perutku yang hanya berupa cairan pahit.
"Ya Allah, Kak! Kenapa?" Dira menyusulku beberapa detik kemudian. Memijat tengkukku.
Aku tidak bisa menjawab. Hanya terus mengeluarkan isi perutku. Sampai sudah benar-benar lemas, rasa mualnya masih ada.
"Tubuh Kakak panas banget! Sudah belum mualnya? Dira bantu ke ranjang, yuk!"
Aku hanya menurut saja. Sebelum itu, Dira membantu membilas sisa muntahan di wajahku. Dira juga melepas kemejaku yang ikut basah. Menggantikannya dengan yang kering. Setelah itu, Dira menelepon Sam. Memintanya menghubungi dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...