Bagian 37

416 16 0
                                    

.
.
.

Sinar matahari yang menerobos masuk dari jendela, serasa menusuk-nusuk mataku sejak tadi. Namun, aku masih saja tidak bisa membukanya. Kepalaku terasa berat sekali. Rasa pusing mendera sedari tadi. Ini pasti efek semalam. Harusnya aku tidak usah mencoba minuman haram itu walau sedikit. Badanku tidak pernah menerima itu sebelumnya. Memang dasar aku yang keras kepala. Bahkan perkataan hati sendiri pun tidak di turuti.

Aku mengerang malas sembari berguling ke samping. Memaksa kelopak mataku yang berat untuk terbuka. Pemandangan pertama yang aku lihat, adalah halaman samping rumah dari jendela yang gordennya sudah terbuka. Dalam kamar hanya ada aku sendiri. Aku melirik sekilas ranjang bocah itu yang sudah kosong. Laki-laki itu pasti sudah membawanya pergi. Baguslah kalau begitu, aku tidak usah repot-repot melihat wajah mereka yang tidak enak dipandang.

Jam berapa sekarang? Aku meraih ponselku di atas nakas. Menghidupkannya untuk melihat jam berapa sekarang. Sudah jam 09.40. Ini sudah menjelang siang. Pantas saja matahari sudah tinggi sekali. Perutku juga terasa lapar.

Aku bangkit dari ranjang, melihat pakaianku yang semalam sudah berganti baju tidur. Laki-laki itu pasti menggantinya saat aku tidur. Turun dari ranjang, aku merenggangkan badanku yang merasa pegal. Berjalan pelan menuju pintu, untuk keluar mencari makanan di dapur.

Rumah sudah lengang. Pekerjaan rumah sudah selesai semua. Lantai sudah bersih, barang berada di tempatnya, tidak ada satu pun hal berantakan yang kutemui. Tidak ada debu di permukaan meja. Di dapur juga bersih dan rapi. Ada sarapan yang tertata di konter dapur. Sepiring nasi goreng dan segelas susu, serta salad sayur. Di sampingnya ada note kecil.

"Selamat pagi, Istriku.
Pagi tadi Kakak bangun kesiangan, jadi maaf jika tidak bisa menyiapkan sarapan terbaik. Kakak mencintaimu."

Sok romantis. Kakak? Dia memanggil dirinya Kakak? Apa dia pura-pura lupa, jika aku membencinya?

Kulempar note itu sembarangan. Sama sekali tidak merasa apa pun pada pesan yang dia tinggalkan. Apa dia berharap aku akan luluh, oleh perlakuan sampah seperti itu? Sama sekali tidak. Tidak akan pernah.

Meski ucapannya semalam, sedikit menggetarkan hatiku, itu pasti hanya karena aku kasihan dengannya. Tidak mungkin jika aku sudah luluh padanya. Aku akan mengabulkan permintaannya, agar dirinya menghabiskan sisa hidupnya, dengan berteman dendam dariku.

Rasa mual membuatku malas untuk sarapan sekarang, jadi aku memutuskan untuk ke halaman belakang, berenang sebentar mungkin akan membuatku lebih segar. Matahari yang sudah meninggi, membuat hangatnya beradu mesra dengan air kolam yang dingin.

Hampir setengah jam aku berenang. Rasa lapar membuatku berhenti. Aku membilas tubuhku dengan air hangat, mengganti pakaian, lalu ke dapur untuk menyantap sarapanku.

Kutinggalkan begitu saja bekas sarapanku di meja. Ke ruang tengah, aku duduk di sofa dengan malas. Memainkan ponsel sembari tiduran.

Sebenarnya, aku ingin pergi berbelanja lagi hari ini. Menguras rekening pria itu seperti kemarin. Jika bukan karena rasa pusing di kepala yang membuatku malas, aku pasti sudah berangkat.

Baiklah. Lebih baik, nanti malam aku kuras rekeningnya di club saja. Kembali membawa pria seperti tadi malam. Reaksinya, membuatku bersemangat untuk melakukannya lagi dan lagi. Ternyata, melihat pria itu menangis saja tidak cukup. Aku ingin dia lebih dari menangis. Kalau perlu, aku ingin membuatnya tidak sanggup hidup lagi. Lalu melakukan hal bodoh untuk mengakhiri hidupnya. Aku akan sangat bersyukur jika dia melakukan itu.

Tapi, sepertinya pria itu tidak akan menyerah dengan mudah. Jadi, aku harus lebih gencar lagi melakukan balas dendamnya.

Seharian aku duduk saja di rumah. Pria itu pulang siang harinya sendiri, tanpa bayinya. Menyiapkan makan siang untukku, lalu kembali pergi bekerja. Sorenya, saat aku berenang, mereka pulang. Aku mengabaikan saja mereka yang duduk di tepi kolam. Tetap asyik berenang mengelilingi kolam.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang