51. Rain

534 26 2
                                    


Assalamu'alaikum..
Ada yang nungguin enggak, ya? Maaf kalau lama, soalnya hpnya habis rusak, kemasukan air dimainin bocil.. Semoga suka dengan kelanjutannya, ya!

Terima kasih yang udah kasih vote, komen dan follow.. Itu berarti banget buat aku, bikin tambah semangat nulisnya.. Luvv💕

POVnya ganti Alvin, ya..

***

Perih. Sesak. Marah. Kecewa. Semua perasaan ini belum juga enyah meski sudah hampir 5 tahun berlalu. Hatiku masih saja teriris jika mengingat tangisannya malam itu. Kalimat terakhir yang dia ucapkan, benar-benar menyayat hati.

"Biarkan aku pergi, dan jangan pernah mencariku lagi! Aku tidak sudi bertemu kamu lagi. Jika terjadi hal buruk pada kandunganku, aku nggak akan pernah maafin kamu. Aku bersumpah! Kalau nanti kita bertemu lagi, aku akan membunuh diriku sendiri! Sekarang, kita hidup masing-masing!"

"Jangan mencariku, jika tidak ingin aku mati bunuh diri! Kamu selalu egois! Pantas saja jika hidup kamu gelap tanpa cinta. Kamu, pantas mendapat itu semua!"

Seandainya aku malam itu mengikuti suara hatiku untuk mengejar dan memeluknya. Membisikkan kata penuh cinta dan memintanya untuk tinggal. Memohon ampun atas segala apa yang sudah aku lakukan pada hidupnya. Bahkan jika perlu, bersujud mencium kakinya. Mungkin saja, dengan begitu dia mau tetap tinggal.

Menyesali diriku yang kala itu, hanya melihat dalam diam saat dia berjalan tertatih-tatih menuju mobil yang menunggunya. Aku hanya menyaksikan dress putih selututnya yang sudah ternoda darah, berkibar dalam langkah pelannya. Aku bahkan tidak peduli pada luka di kedua kakinya yang aku ciptakan. Luka itu mengeluarkan darah dengan derasnya. Dia bisa saja mati jika pendarahan itu tidak segera dihentikan.

Belum lagi, darah yang mengalir dari perutnya. Hal yang membuatku akhirnya hanya terpaku melihatnya, karena aku terkejut pada hal itu. Sejak kapan Dira hamil? Kenapa dia tidak mengatakannya padaku? Kenapa dia menyembunyikan kabar yang sangat aku tunggu dan aku harapkan?

Ya Tuhan. Aku bahkan melihat dengan jelas betapa tubuh kecilnya semakin mengurus seiring waktu. Bibirnya selalu pucat. Matanya memerah, namun sekitarnya menghitam. Mungkin dia tidak tahu, tapi aku memperhatikannya dalam diamku. Apakah saat itu dia sudah mengandung anakku? Aku justru terlalu sibuk pada pekerjaan tanpa memberinya perhatian sama sekali. Laki-laki macam apa diri ini?

Waktu itu, perusahaan yang kurintis sedang genting. Banyak masalah yang timbul entah karena apa. Bertubi-tubi masalah menghampiri. Takut jika aku bangkrut dan tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Dira dan Rain, aku menjadi gila kerja. Aku bahkan sampai menginap di kantor agar masalah cepat selesai. Aku hanya pulang sesekali, itu pun kadang Dira sudah tidur.

Dan saat masalah berdatangan tiada henti, Dira malah menuduhku selingkuh. Membuat aku tak habis pikir. Apalagi saat dia meminta cerai, aku langsung marah padanya. Bagaimana bisa dia minta cerai, disaat aku sedang mati-matian memperjuangkan masa depannya? Hal itu membuatku menghindarinya. Aku tidak mau bertengkar. Tidak ingin mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang mungkin menyakitinya.

Hingga saat dia pergi, aku gila. Sampai Rain tidak kunjung aku ambil di rumah orang tua Dira. Lalu saat malam itu Dira pulang, aku tidak tahu, mengapa bisa Mala tidur di sampingku dengan tubuh telanjang?

Menyadari Dira akan pergi lagi, aku kehilangan akal. Tanpa berpikir aku meluncurkan peluru ke ke kakinya. Berharap dia tidak bisa berjalan untuk pergi dariku. Namun, aku salah. Dira sedang mengandung anakku tanpa kuketahui. Dan aku, bukan hanya menyakitinya, tapi juga calon anak kami. Setiap mengingat rangkaian peristiwa malam itu, aku tidak bisa berhenti menangis dan menyalahkan diri. Dira pergi karena diriku sendiri.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang