Bagian 50

714 31 14
                                    

.
.
.

Menghindar dari masalah mungkin memang kebiasaan yang sudah mendarah daging padaku. Aku selalu takut tidak sanggup menghadapinya. Semua masalah itu, terasa begitu berat kutanggung. Aku tahu ini terlalu pengecut. Tapi, selalu saja kabur adalah hal yang terlintas pertama kali saat aku mendapat masalah.

Setelah obrolan pagi itu, aku pergi dari rumah tidak sampai sejam berikutnya. Aku pergi tanpa tahu mau ke mana, hanya membawa dompet dan ponsel. Aku bahkan tidak sempat menghitung dulu, ada berapa uang di dompetku.

Aku memesan taxi online. Pergi ke rumah Ayah dulu untuk menitipkan Rain. Bilang jika aku ada keperluan mendadak. Setelah itu, barulah aku pergi ke halte dekat rumah. Naik bis pertama yang aku temui. Di dalam bis, aku tidak henti-hentinya menangis. Merasa sangat bersalah karena meninggalkan Rain. Aku tidak punya pilihan lain. Rain pasti akan lebih bahagia jika bersama ayahnya. Sedangkan aku, bahkan belum jelas hidupku akan gimana nanti. Aku tidak mau membawanya menderita bersamaku.

Meski begitu, aku sangat bertekad untuk memulai hidup baru. Meski akan kesulitan nantinya. Meraba perutku yang masih rata. Aku tidak sendiri. Ada kehidupan dalam diriku. Ya. Lagi-lagi aku membawa pergi benih Kak Alvin.

Saat diperiksa dokter kenalan Bunda waktu itu, aku diberi tahu jika aku hamil lagi. Lalu, aku menyuruhnya untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku masih terlalu kaget dan syok. Belum siap jika harus kembali hamil. Jadi saat Bunda keluar dan aku hanya berdua dengan dokternya, aku bilang ingin menjadikan kabar ini kejutan. Aku memohon padanya untuk jangan bilang dulu ke Bunda.

Lalu, saat Kak Alvin tanya. Aku saat itu belum siap juga. Sebagian dari diriku masih menolak kehamilan ini. Jadilah aku berbohong padanya. Aku bilang tidak sedang hamil. Bahkan, aku bilang jika aku sudah suntik KB. Aku tidak menyangka, Kak Alvin akan semarah itu.

Tadi, sebenarnya aku sudah ingin jujur. Aku ingin bilang kehamilanku, berharap Kak Alvin berhenti marah dan hubungan kami membaik. Namun, belum sempat aku mengatakannya, Kak Alvin terlanjur mengatakan hal yang menyakiti hatiku. Membuatku kembali pergi. Membawa luka dan buah cintanya untuk kedua kalinya.

Kuharap, keberadaan Rain bisa menghibur hatinya. Kita impas. Dia melanjutkan hidupnya dengan membesarkan Rain. Sedangkan aku, melanjutkan hidupku dengan buah hati dalam perutku. Kupikir ini jalan yang paling adil.

Daripada terus bersama, hanya saling menyakiti. Itu tidak bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Mungkin sebuah hubungan memang tidak selalu berakhir bersama. Terkadang, berpisah adalah jalan terbaik.

"Sayang, jadilah anak baik untuk Mommy, ya! Meski nanti kamu lahir tanpa ditemani Daddy dan Kakak kamu, kamu harus jadi anak hebat untuk Mommy. Jangan rewel, ya! Kita hidup dalam pelarian, pasti tidak akan mudah. Namun, Mommy akan bekerja keras untuk memberi kamu kehidupan yang layak!" bisikku pada kandunganku yang baru menginjak usia 10 minggu.

Aku sadar betul, konsekuensi dari pelarianku ini. Jika dulu saat bersama Rain, perhiasan dari Kak Alvin bisa menghidupi kami selama mengasingkan diri. Sekarang aku hanya membawa uang cash yang tidak seberapa dan ponsel. Aku meninggalkan kartu sakti dari Kak Alvin. Aku juga tidak membawa satu pun perhiasan darinya. Bahkan, cincin pernikahan kami pun, aku tinggalkan. Aku tahu, ini akan lebih sulit dari sebelumnya.

Namun, aku bersumpah, akan melakukan apa pun untuk anakku nanti. Bahkan, meski itu akan sangat menyakitkan, aku akan menanggungnya.

☆☆♡☆☆

Mengendap. Begitu turun dari taxi yang kutumpangi, berjalan mengendap masuk ke rumah yang sudah empat hari ini aku tinggalkan. Rumah yang gelap, membuatku yakin tidak ada orang di dalam. Namun, aku tetap berhati-hati. Takut jika orang yang sangat aku hindari ternyata sedang ada di dalam rumah.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang