***
Rain bisa keluar dari rumah sakit, beberapa hari setelah operasi usus buntunya. Aku yang tidak bisa menungguinya setiap hari, merasa tenang karena Dira selalu ada untuk Rain. Wanita itu akan terjaga sepanjang malam, menenangkan Rain yang terus menangis kesakitan. Saat siang hari, Dira juga siaga menjaga putra kami.
Kembar tiga tidak perlu dikhawatirkan, karena Bi Ida bisa merawat mereka dengan baik. Mereka sangat pintar. Bisa mengerti jika kakaknya sedang sakit dan butuh ibunya. Mereka sering sekali menanyakan kondisi kakaknya. Padahal, Rain sangat buruk memperlakukan mereka. Mereka tidak benci sama sekali.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Rain terlihat tidak nyaman. Beberapa kali kudapati Rain menoleh pada spion mobil. Seperti mencari sesuatu.
"Kenapa, Sayang?" Aku menyentuh hati-hati lengan kanannya.
Rain menggeleng. Tapi, tetap tidak berhenti menoleh. Aku akhirnya tahu, siapa yang dia cari.
"Mommy harus pulang duluan tadi, soalnya badan Mommy demam. Mommy kecapekan jagain Rain sakit. Mommy kurang istirahat," jelasku tanpa dia minta.
"Mommy sakit apa, Dad?" Menatapku dengan wajah sedihnya.
Aku diam-diam tersenyum. Rain sudah memanggil Dira dengan panggilan Mommy. Apa itu artinya, hubungan mereka akan membaik setelah ini? Semoga saja.
"Mommy demam!"
"Kenapa tidak dirawat di rumah sakit saja? Kenapa malah pulang? Mommy benar-benar keras kepala! Susah diberi tahu!"
Ck. Persis seperti yang mengatakan juga. Keras kepala dan susah diberi tahu.
"Dad, kita pulang ke rumah mereka saja. Aku ingin melihat, apakah wanita keras kepala itu istirahat atau tidak," Rain berkata dengan tanpa menatapku. Membuatku sangat ingin menggodanya.
"Daddy bisa telpon Bi Ida untuk memastikan Mommy istirahat apa tidak. Mau?"
"Dad, aku ingin pulang ke sana! Apa Daddy tidak paham juga?" katanya dengan galak.
Aku berdehem, mencoba untuk tidak menertawakannya. "Di sana ada adik-adik juga. Mereka mungkin tidak nyaman kalau Rain datang. Rain nggak lupa, kan, kalau terakhir kali bertemu, Lisa menangis?"
Rain tidak menjawab. Bibirnya mengerucut dengan menggemaskan, sedangkan kedua tangan saling terlipat di dada. Aku menikmati saja bagaimana kesalnya anak ini. Padahal, diam-diam aku sudah menjalankan mobilku ke tujuan yang dia inginkan.
"Rain ingat nggak, waktu Daddy bilang alasan Mommy dan adik-adik pergi dari rumah? Pergi lama dan nggak pulang-pulang?" tanyaku pada Rain yang dijawab deheman oleh anak itu. "Itu karena Daddy punya salah sama mereka, kan? Lalu, Daddy minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, akhirnya mereka memaafkan Daddy dan mau pulang sama Daddy."
Wajah bulat itu menatapku penuh rasa ingin tahu. Seakan sudah bisa menangkap apa yang aku katakan secara tersirat. Aku sengaja memang tidak langsung mengatakan maksudku. Ingin anak sulungku ini, mencoba mengambil keputusan sendiri. Mengajarinya sedikit sifat baik sebagai seorang Kakak.
"Daddy juga sebenarnya punya adik. Rain mungkin pernah ketemu waktu kecil, tapi Rain pasti sudah lupa. Om Kevin namanya. Dia juga ada salah sama Daddy. Membuat Daddy kesal setiap kali ketemu. Namun, Daddy tetap nggak bisa berhenti buat sayang ke Om Kevin. Setiap Om Kevin salah, Daddy selalu memaafkannya. Tidak bisa benar-benar benci, meski dalam hati rasanya sudah sangat kesal.
"Rain, itulah saudara. Seringkali, ada kesalahpahaman dan saling membuat marah. Itu hal yang biasa. Boleh-boleh saja saling berselisih. Yang tidak boleh, adalah membiarkan perselisihan itu, mengikis tali persaudaraan hingga merusaknya. Apalagi saudara kandung. Saudara kandung itu, berasal dari satu rahim yang sama. Darah dan daging yang terjalin di tubuh kalian pun sama. Saling sayang dan saling cintanya sudah terbawa sejak lahir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...