Bagian 42

546 26 0
                                    

.
.
.

Rumah menjadi sepi. Mereka sudah pulang siang tadi. Hanya ada Kak Gita seperti biasa. Kak Alvin pergi bekerja sejak tadi pagi. Setelah mencuci semua yang kotor-kotor dan membereskan rumah yang berantakan, aku masuk kolam renang sembari meminum es kelapa muda yang kubeli di ujung jalan.

Rasanya segar sekali. Aku sudah mengelilingi kolam selama beberapa kali. Matahari yang sedikit melotot sore ini, membuat air kolam menjadi hangat. Masih dengan pakaian yang sama dengan yang kupakai saat beres-beres rumah tadi, aku kembali menyelam ke dalam kolam. Keluar saat merasa paru-paruku sudah kehabisan nafas. Lalu menyelam lagi dan lagi.

"Kakak jadi pengen," Kak Gita berteriak dari pintu belakang.

"Ya udah, sini masuk!" Aku melambaikan tangan kepadanya.

"Dingin nggak?" Kak Gita mendekat ke pinggir kolam. "Auch!" jeritnya panik saat aku mencipratinya dengan air.

Aku terkekeh sembari menghindar saat melihat Kak Gita bersiap masuk ke kolam. Selanjutnya, kami benar-benar perang air di dalam kolam. Persis seperti bocah. Padahal kami sudah dan akan menjadi ibu. Ck. Kekanakan sekali. Dan ini semua karenanya.

"Rain di mana?" tanyaku saat perang kami sudah beres.

"Tidur. Nggak diurusin sama Emaknya."

"Enak aja bilang nggak diurusin!" kataku tidak terima. Tadi Kak Gita sendiri yang maksa untuk ngajak Rain. Sekarang dia bilang aku nggak ngurusin?

"Kayaknya kamu butuh babysitter deh. Kalau kecapekan karena gempuran Alvin, kamu jadi bisa bersantai, nggak harus maksain diri beresin rumah."

"Aish. Jangan diungkit terus!"

"Salah sendiri dari kemarin bangun siang mulu. Bikin curiga kan."

"Dira kan emang biasanya bangun siang!"

Aku menjulurkan lidah sembari menepi, untuk meminum es kelapa mudaku yang masih banyak. Menghindari Kak Gita dari obrolan ini. Memang, sejak aku mengizinkannya kemarin, Kak Alvin sudah beberapa kali mengajakku melakukannya. Rasanya laki-laki itu tidak ada puasnya. Dan aku, tidak pernah bisa menolaknya. Selalu seperti itu.

Membuatku berfikir, apa dulu jika dia tidak memaksaku (maksudku, seandainya dia melakukan itu dengan lembut), aku akan menyerahkan diri padanya? Tentu saja. Dia seperti candu untukku. Seandainya dulu dia mengatakan dengan baik-baik. Memintaku menjadi kekasihnya, aku pasti tidak menolaknya. Bahkan, bisa saja aku yang melempar tubuhku padanya.

"Kakak pulang besok pagi." Kak Gita tiba-tiba sudah di sampingku. Menginterupsi pengandaianku yang sia-sia.

"Dijemput? Apa pulang sendiri?" tanyaku sembari menyodorkan gelas esku padanya.

"Dijemput dong!"

"Nggak entaran dulu, Kak?"

"Basa-basinya basi banget! Padahal kemarin-kemarin nyuruh Kakak biar cepat-cepat balik. Sekarang, sok-sok an nyuruh tinggal lebih lama."

Aku hanya nyengir.

"Ingat terus ya pesan Kakak. Jangan sia-siakan laki-laki yang begitu mencintai dan peduli pada kita! Karena, bisa jadi dia adalah hal paling berharga dalam hidup kita. Cintai selagi masih kita miliki. Jangan uji terus kesabarannya. Sabar memang tidak terbatas, tapi rasa lelah terkadang membuat seseorang menyerah."

Benar. Aku memang tidak boleh menyia-nyiakan laki-laki sebaik itu. Terlepas dari apa yang sudah dia lakukan padaku dulu, kata maaf seharusnya sudah bisa membuatku memaafkannya. Apalagi sejak kami bertemu kembali, cintanya yang begitu besar padaku, jelas terlihat dari pancaran matanya. Bahkan saat dia masih menjadi suami Kak Desi, aku sering melihat tatapan penuh cintanya padaku.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang