Bagian 48

438 24 4
                                    

.
.
.

Hari berganti. Meski belum sampai menggeser musim hujan yang masih setia menemani. Tetesan air hujan terdengar sampai di dalam rumah. Aku menatap halaman belakang rumah, di mana air menetes di permukaan kolam renang, menimbulkan gemericik yang mengisi kekosongan. Tak bisa dipungkiri jika sudah belasan hari berlalu sejak pagi itu.

Sudah hampir tengah malam. Tapi hujan yang turun sejak habis Isya' tadi belum juga reda. Awet sekali. Sama seperti sikap Kak Alvin yang masih sama dinginnya seperti pagi hari itu. Tidak ada lagi kehangatan yang dia curahkan untukku. Jarang ada pembicaraan yang terjadi diantara kami. Dia pulang lewat tengah malam, dan akan mulai berangkat kerja pagi-pagi. Bahkan tanpa memasak sarapan untukku, seperti kebiasaannya yang lalu.

Tidak ada candaannya dengan Rain yang kulihat. Dia bahkan sudah sangat lama tidak bermain dengan Rain. Tidak ada Kak Alvin yang membantuku saat aku kerepotan mengurus rumah. Tidak ada Kak Alvin yang memperhatikan makan dan istirahatku. Rasanya, dia menjadi orang asing yang aku kenal.

Hampa.

Hidup rumah tangga kami benar-benar tanpa warna. Dia asyik dengan dunianya sendiri. Tak memperbolehkan aku atau Rain mengusik sebentar saja dunianya. Hanya kata-kata singkat atau dingin yang aku dengar. Membuatku terus bertanya-tanya. Apa dia sudah tak mencintaiku lagi? Lalu, ke mana cintanya yang dulu selalu dia katakan? Apa hanya segini cintanya untukku?

Aku memang mencintainya. Tapi bukan seperti ini. Aku sudah meminta maaf, tapi sedikit pun dia tidak menanggapi. Lalu apa sekarang yang tersisa. Apa masih bisa disebut rumah tangga hubungan kami sekarang?

Ah iya, kami bahkan hanya menikah siri. Dia sudah mengurus perceraiannya dengan Kak Desi, jadi secara hukum dia berstatus lajang. Dia bisa saja meninggalkan aku kapan pun dia mau. Menalakku semaunya, tanpa aku bisa membela diri atau mencegahnya. Dan Rain. Dia akan kembali berstatus anak yang lahir di luar nikah tanpa ayah. Miris sekali nasibku.

Masa depanku hancur. Diriku tanpa status yang jelas. Dan sekarang, hidupku sama tidak jelasnya dengan statusku. Apa lagi yang kupunya? Kebahagiaan kemarin, seperti hanya mimpi yang sekejap langsung pergi.

Untuk tetap mempertahankan hubungan ini, aku tidak sanggup terus begini. Tidak sanggup terus bersama orang yang tidak menganggapku. Tapi jika bercerai, apa kata orang tentang Rain? Dia sudah terlanjur terekspos. Sudah banyak yang tahu tentangnya. Aku bisa menahan omongan orang tentangku, namun aku tidak akan sanggup mendengar omongan buruk mereka untuk Rain. Tidak akan pernah sanggup.

Mungkin, memang yang terpenting untuk sekarang adalah kebahagiaan Rain. Aku harus menguatkan diri untuk bertahan dengannya demi Rain. Jika dia bisa mengabaikanku. Aku juga pasti bisa mengabaikannya. Pasti bisa.

☆☆♡☆☆

Aku terjaga dalam gelapnya kamar. Memandang gorden yang menutupi pemandangan luar. Pikiranku tidak di sana. Ada banyak hal yang aku pikirkan. Dan ini, sudah hari ke 17 sejak dia dingin padaku. Tidak ada yang berubah. Dia masih seperti sebelumnya. Hanya saja, aku sekarang berubah menjadi sedingin dirinya. Aku tidak sudi menegurnya terlebih dahulu. Aku lebih memilih menghindari kontak dengannya.

Pintu terbuka. Laki-laki itu pasti baru pulang. Ini sudah menjelang pagi, dan dia hampir selalu pulang saat jam segini. Aku terjaga bukan karena menunggunya. Tapi, aku terbangun beberapa saat lalu karena mimpi buruk yang menghampiri.

Aku pura-pura tertidur saat mendengarnya meletakkan tas kerjanya, lalu entah apa yang dia lakukan, hingga aku mendengar suara gemericik air. Sebentar kemudian dia keluar dari kamar mandi, mengambil piyama sendiri dari almari, karena aku sudah tidak pernah menyiapkan keperluannya lagi.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang