62. Obat

446 32 0
                                    

***

"Kak, maaf! Dira ternyata baru tahu kalau sedang berhalangan, jadi belum bisa melayani Kakak sebagai seorang istri. Maaf, kalau Kakak harus nunda lagi. Dira bukan mau menghindar! Dira mau hamil, kok. Dira beneran mau hamil. Dira nggak papa hamil berkali-kali lagi. Dira akan kasih anak ke Kakak, berapa pun yang Kakak mau. Kakak jangan marah, ya!"

Aku terus terngiang pada ucapan Dira semalam. Aku tidak tenang. Ucapan Dira, harusnya membuat aku bahagia. Memiliki keluarga besar, dengan banyak anak di rumah kami, terbayang sangat membahagiakan sekali. Tapi, terasa ada yang salah. Ada yang janggal. Dira seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Aku benar-benar ingin tahu, apa yang ada di pikiran wanitaku itu. Aku sangat ingin tahu. Aku takut terlambat mengetahuinya.

Seharian di kantor, aku tidak bisa fokus. Pekerjaan yang seharusnya selesai, malah jadi kacau. Pikiranku terus memikirkan Dira. Mengira dan menerka. Apa yang membuat Dira begitu takut? Aku sudah berkali-kali mencoba menanyakannya, tapi Dira tidak mau jujur. Aku harus bagaimana?

Aku sampai rumah sore harinya dengan kalut. Sama sekali tidak mendapatkan apa pun di kantor. Apa sebaiknya aku mengambil libur dulu sehari atau dua hari? Tapi, pekerjaan yang kutinggalkan kemarin saat mencari Dira juga masih menumpuk. Tidak mungkin aku mengambil libur lagi.

"Tuan! Nyonya, Tuan Muda dan Nona Muda sedang pergi ke taman kompleks. Mereka bilang ingin main sebentar. Kalau Tuan Muda Rain, sedang ke rumah temannya sejak siang tadi!" Bi Ida, pelayan rumah yang sudah bekerja 3 tahun padaku, menjelaskan saat aku bertanya mengapa rumah kosong.

"Saya akan menyusul mereka setelah ini, Bi!" kataku yang berniat menukar pakaian dulu.

"Tu-Tuan! Sebentar!" Wanita paruh baya itu menahan langkahku.

"Ada apa?" tanyaku mengerutkan kening.

"Saya minta maaf kalau lancang, Tuan! Tapi, saya pikir Tuan harus tahu. Tuan Muda Rain, sangat galak sekali pada Nyonya, Tuan. Tadi pagi, ketika ada temannya bermain ke mari, Tuan Muda Rain melarang Nyonya, Tuan Muda serta Nona Muda menemui mereka. Bahkan, Tuan Muda Rain mengunci mereka di kamar atas, Tuan!"

Aku mengepalkan tangan mendengar itu. Rain sudah sangat keterlaluan sekali. Kenapa Dira tidak cerita tentang hal ini? Apa ini yang membuatnya sedih dan menangis? Aku tahu, Dira selalu menangis setiap malam. Dia mengira aku sudah tidur. Padahal, aku mendengar tangisannya setiap malam, yang baru akan reda saat Subuh menjelang. Aku hanya pura-pura tidak tahu. Menunggu Dira sendiri yang bercerita padaku.

"Bukan hanya itu, Tuan! Tuan Muda Rain sangat sering sekali bertengkar dan memaki Tuan Muda dan Nona Muda. Bahkan, beberapa kali saling pukul dengan Tuan Muda Lian. Nona Muda selalu menangis histeris saat bertemu dengan Tuan Muda Rain. Saya pikir, ini tidak baik jika dibiarkan lebih lama, Tuan. Saya kasihan pada Nyonya. Maaf jika saya harus mengatakan ini, tapi, saya berkali-kali menemukan Nyonya menangis seorang diri," tambah Bi Ida membuatku semakin merasa bersalah.

"Apa ada lagi, Bi?"

Wanita paruh baya itu menggeleng. Aku menyerahkan tas kerjaku padanya untuk disimpan. Tanpa menukar pakaian lagi, aku langsung menyusul mereka ke taman yang tidak jauh dari kompleks. Terlihat Dira duduk di bangku dengan pandangan sendu. Melihat ketiga buah hati kami bermain di wahana taman.

"Sayang!" Aku bersikap biasa saja. Pura-pura tidak tahu. Sangat berharap Dira bercerita. Mau membagikan kesedihannya padaku.

Buru-buru wanitaku itu mengusap air matanya. Tersenyum lembut. Seakan dirinya baik-baik saja. Menutupi hatinya yang terluka.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang