Bagian 34

609 20 3
                                    

.
.
.

Malam yang dingin membuatku meringkuk seperti bayi di dalam selimutku. Ini sudah larut malam, tapi aku bahkan tidak merasa mengantuk sama sekali. Memang apa yang kuharapkan? Seharian ini, aku hanya tidur saja. Bunda menyuapiku saat aku makan. Itu pun tetap aku di atas ranjangku. Bunda memandikanku pagi dan sore hari. Mengganti bajuku, menyisir rambutku dengan rapi. Aku persis seperti manekin hidup.

Aku kesepian. Kenapa tidak diambil saja nyawaku? Mengapa dibiarkanNya aku hidup dalam kehampaan dan kekosongan yang menyesakkan ini. Aku lelah. Berpura-pura baik-baik saja, aku lelah. Aku ingin menjerit dan mengatakan pada semua orang, bahwa hatiku remuk tak bersisa. Batinku hancur menjadi debu, yang lalu terbang tersapu angin.

Fisikku sudah terluka, hatiku sudah remuk dan batinku sudah hancur. Apa lagi yang tersisa? Dalam hidup ini, tidak ada apa pun yang kupunya. Masa depanku tanpa harapan. Biarkan aku mati!

"Ra!" suara yang paling tidak ingin kudengar, memanggilku tiba-tiba dalam keheningan. Hanya lirih, sangat pelan seperti desiran angin. Namun, di malam yang bahkan jarum jam pun bersuara, aku mendengarnya.

"Ampuni aku!" Tubuh itu memelukku dari belakang. Memberikan kehangatan yang sama sekali tidak aku butuhkan, meski sangat aku rindukan.

"Aku banyak berdosa sama kamu. Ampuni aku! Biarkan aku menebus semuanya! Aku akan menikahimu. Aku akan mengobati semua lukamu. Izinkan aku merawatmu dan putra kita! Aku mohon izinkan aku, Ra!" Suaranya parau, seperti menangis. Ini baru tangisan pertama yang aku dengar darinya. Sedangkan dia sudah membuatku menangis ribuan kali.

"Jika kamu izinkan, aku akan menemui keluargamu dan mengatakan maksudku. Aku akan menikahimu. Kumohon izinkan aku, Ra!"

Tangisannya terasa merdu dalam pendengaranku. Muncul hasrat untuk terus menerus mendengarkan suara tangisnya. Apa dengan mendengar suara tangisnya terus menerus, dendamku padanya akan terbanyar? Apa aku akan berhasil membuat hidup laki-laki yang sudah menghancurkan masa depanku ini hancur juga? Baiklah. Aku akan menerima permohonannya. Membuatnya menderita dan dibenci keluargaku adalah misiku sekarang.

Apalagi, aku sudah terlanjur kecewa pada Kak Desi, yang tega bungkam pada kebenaran yang ada. Cintanya pada Alvin, telah menjadikannya egois. Membiarkanku kesakitan, padahal dia tahu, apa obat dari sakit hatiku.

"Ceraikan istrimu besok pagi dan langsung bilang Ayah untuk menikahiku! Apa pun bantahan Ayahku, tidak ada kata mundur untukmu. Aku hanya memberikan kamu kesempatan sekali. Gunakan sebaik mungkin, atau tidak akan ada pernikahan sama sekali!" Untuk pertama kalinya, aku berbicara setelah kata Bunda lebih dari setengah bulan aku hanya diam.

"Ra? Kamu tidak bercanda, kan? Aku akan melakukan seperti yang kamu katakan. Terima kasih, Ra!," katanya sembari mengetatkan pelukannya di tubuhku. Biarkan dia merasakan kebahagiaan malam ini. Karena setelah malam ini, dia akan menangis darah untukku.

"Ceraikan besok sebelum bilang Ayah untuk menikahiku!"

Aku tidak akan membuat Kak Desi bernapas lega walau hanya sebentar. Dia akan merasakan, diceraikan oleh suaminya, lalu melihat mantan suaminya menikahiku di waktu yang hampir bersamaan. Ini bayaran untuk apa yang dia perbuat padaku.

Tersenyum puas. Aku tak sabar menanti hari esok. Segera aku terlelap, dan membiarkannya memelukku sampai pagi. Aku tidak tahu kapan dia pergi, karena saat aku terbangun oleh guncangan Bunda, dia sudah tidak ada lagi.

☆☆♡☆☆


Pagi-pagi sekali, aku bangun dan langsung mandi sendiri. Mencuci rambutku yang sudah kusut. Lalu, memakai dress cantik berwarna biru langit. Bunda tidak berhenti keheranan melihatku. Apalagi, melihatku memakai make up dan parfum. Terlihat seperti hendak bepergian. Aku hanya tersenyum saja, saat Bunda bertanya aku hendak ke mana.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang