Bagian 4

1.3K 47 7
                                    

.
.
.

Bayi itu sama. Sekarat. Sama sepertiku. Jika saja, Kak Gita terlambat beberapa saat, pasti aku dan bayi itu, sudah mati.

Namun, bayi itu memang penuh dengan keberuntungan. Dia tidak mudah mati. Meski berkali-kali aku mencoba melenyapkannya saat masih di dalam diriku, nyatanya bayi itu masih bisa bertahan hingga sekarang. Dia bayi yang kuat. Sangat kuat.

Aku tidak tahu bagaimana selanjutnya. Karena setelah itu, aku terbangun di brankar rumah sakit. Kak Gita bilang, aku baru menerima transfusi berkantong-kantong darah karena kehabisan darah setelah pendarahan. Juga kondisiku saat itu sangat lemah. Kepalaku sangat berat sekali. Namun, begitu ingat kejadian sebelum aku tak sadarkan diri, aku duduk tiba-tiba dan menyentuh perutku yang mengempis. Aku juga mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan. Bahkan kepalaku yang seperti dihantam batu pun aku abaikan.

"Hahahahaha ..."

Aku tertawa seperti orang kesetanan. Lama sekali. Sampai mataku basah, saking lamanya aku tertawa. Kak Gita waktu itu menatapku keheranan. Apa yang terjadi? Orang baru bangun dari pingsan malah tertawa keras seperti kerasukan.

"Akhirnya. Aku benar-benar berhasil melenyapkannya," kataku sebelum Kak Gita bertanya. Aku melihat ekspresinya yang kaget. Kedua tangan Kak Gita menutupi mulutnya yang menganga dengan punggung tangan kanan. Di matanya, ada sorot tidak percaya melihatku seperti ini.

"Aku benar-benar sudah membuatnya mati. Tidak sia-sia usahaku selama ini." Aku kembali tertawa. Sangat senang karena akhirnya apa yang aku takutkan tidak terjadi.

"Ra, apa maksud kamu? Apa ..."

Derit pintu ruangan menginterupsi kami. Secara otomatis, aku dan Kak Gita menoleh ke sumber suara. Di sana, seorang perawat datang dengan menggendong bayi dalam pelukannya. Tersenyum lebar melihatku yang terbangun. Berjalan mendekat ke ranjang. Membuatku dan Kak Gita hanya terdiam melihatnya.

"Sudah bangun ya, Bu? Alhamdulillah ... sudah kuat duduk, apa sudah bisa menyusui dengan dipangku? Sepertinya dedek bayinya lapar ini." Menyodorkan padaku bayi dalam pelukannya.

Aku merasa waktu berhenti. Bayi itu merengek pelan, matanya terbuka sebentar, memperlihatkan warna irisnya yang serupa dengan laki-laki yang menitipkan benih kepadaku. Biru tua. Begitu menyadari itu, aku langsung mendorong bayi itu menjauh. Jika saja, perawat di depanku tidak memegang bayi itu dengan kuat, pasti sudah jatuh ke lantai. Tidak cukup sampai di situ, aku bahkan masih mencoba meraih bayi itu untuk aku lenyapkan.

"Pergi! Dasar bayi sialan! Kalau kamu tidak ingin pergi, kenapa kamu juga tidak membiarkan aku pergi? Dasar bayi egois. Kamu pikir aku mau menanggung aib yang kamu bawa? Sudah dari lama aku ingatkan untuk jangan berani lahir ke dunia, karena kamu hanya akan berakhir di tempat sampah atau panti asuhan!" Aku mencaci bayi merah itu dengan berapi-api. Bahkan bayi itu menangis kencang karena kaget dengan teriakkanku. Tapi aku tidak peduli. Aku mencoba meraih bayi yang sekarang ada dalam pelukan Kak Gita.

"Bawa ke sini Kak, bayi itu! Dia yang sudah membuatku berpisah dengan keluargaku. Dia yang sudah merenggut masa depanku. Bayi itu sumber penderitaanku. Aku benci! Bawa ke sini biar aku lemparkan bayi itu sampai mati! Aaarrrgghhh ... bawa sini Kak, bayinya!"

Aku melempar piring dan gelas yang ada di nakas. Aku juga melepas paksa jarum di punggung tanganku hingga darah mengalir deras dari sana. Aku mencoba turun dari brankar, hendak mengejar Kak Gita yang berjalan keluar ruangan saat melihatku semakin tidak terkendali. Namun, baru saja kakiku menapak di lantai, aku jatuh terduduk. Tubuhku serasa tiada bertulang.

Pandanganku kabur. Kepalaku memberat. Aku rubuh seluruhnya di lantai. Seperti selembar kain yang tergeletak tak berdaya. Terakhir kali yang aku lihat, adalah beberapa orang yang datang tergopoh-gopoh masuk ke ruanganku. Rupanya perawat tadi setelah menyerahkan bayi itu ke tangan Kak Gita, pergi keluar memanggil orang lain.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang