.
.
.Aku masih berdiri di tempat yang sama. Jantungku berdetak kuat sekali. Gelisah, takut dan rindu, bercampur menjadi satu. Di dalam kamarku, sedang ada laki-laki yang sangat kubenci sekaligus sangat kucintai dan kurindukan. Tulangku berasa lepas dari persendian. Tidak pernah ada dalam bayanganku, laki-laki ini akan berani mendatangiku di rumah. Setelah apa yang terjadi, kupikir dia tidak akan punya nyali.
"Hai, Boy! How sweet your sleep! Do you miss daddy? Daddy miss you so much."Setelah aku berjanji untuk tidak berteriak, dia melepaskanku. Kemudian menghampiri Rain yang tertidur di ranjang. Berjongkok agar wajahnya sejajar dengan putraku. Mengecupi lembut wajah Rain. Aku hanya memperhatikan dari posisi berdiriku. Melihat wajah beda usia yang bak pinang di belah dua itu, dengan hati berkecamuk.
Aku tidak berpikir, hari ini akan datang. Aku tidak pernah membayangkan, putraku akan bertemu dengan ayahnya. Apalagi, saat melihat wajah laki-laki itu begitu lembut dan penuh kasih ketika menyapa Rain. Sedikit harapan, muncul di hatiku. Aku, ingin melihat pemandangan ini, setiap hari. Ah, aku terlalu maruk. Melihat laki-laki itu menerima Rain saja, rasanya sudah lebih dari cukup.
"Ke mana saja selama ini? Saya nyariin kamu, Ra. Saya pikir, kita tidak akan bertemu lagi. Saya takut. Takut sekali. Takut kehilangan Dira untuk selamanya. Tolong jangan pergi lagi!"
Aku memalingkan wajah saat laki-laki itu mengajakku bicara. Tidak ingin dia tahu jika telaga mataku mengembang. Siap menumpahkan airnya ke pipiku. Aku merindukannya. Sangat. Merindukan laki-laki yang sudah merusak masa depanku. Laki-laki yang mengambil harta berhargaku dengan keji. Laki-laki yang membuatku menanggung aib seumur hidup. Laki-laki yang membuatku merasa tidak pantas untuk dicintai, hingga memutuskan tidak menjalin hubungan sampai nanti aku mati.
"Ra!" suaranya lembut. Meski pelan, aku mendengarnya dengan jelas.
Terkadang laki-laki ini bisa begitu lembut, hangat dan perhatian. Namun, di saat yang lain, bisa menjadi kasar, angkuh dan tidak berperasaan. Aku sempat berpikir, mungkinkah ada dua kepribadian dalam dirinya? Itulah mengapa, aku sangat membenci salah satu sisinya, tapi di saat bersamaan, aku begitu mencintai sisinya yang lain.
Tangan besarnya menarikku agar mendekat padanya yang duduk di tepi ranjang. Aku ingin menolak, namun tubuhku berkhianat dengan menuruti tarikannya. Hingga aku berdiri sangat dekat di depannya. Tak sampai sejengkal jarakku dengannya. Aku bahkan bisa mencium aromanya yang tidak berubah. Aroma yang sangat kubenci sekaligus kurindukan. Laki-laki ini, memang selalu berhasil membuat batinku berperang.
"Maaf, jika saya sudah membuat Dira dalam kesulitan. Maaf untuk awal yang salah dalam kisah kita. Maaf karena tidak ada di saat kamu mengandung dan melahirkan putra kita. Saya sungguh tidak tahu, jika saat saya pergi, kamu sedang mengandung anak saya. Jika tahu, saya tidak akan meninggalkan kamu, Ra. Terima kasih, sudah mempertahankan penerus saya. Saya janji, saya akan menebus semuanya."
Maaf? Untuk semua sakit dan luka yang dia torehkan, dia ingin meminta maaf. Apa dia pikir, maaf bisa mengembalikan masa depanku? Apa maafnya bisa menghapus aibku? Apa maafnya bisa mengganti airmataku yang sudah tertumpah? Begitu banyak yang hilang dariku karenanya. Dan dia ingin semuanya terhapus dengan kata maaf?
Hatiku, bukan lagi berkeping, tapi sudah hancur lebur. Batinku sakit. Aku bukan lagi Dira yang dulu. Aku sudah tidak suci. Kandunganku sudah terisi bahkan saat aku belum menjadi istri. Aku sudah harus dipanggil ibu, padahal aku belum bersuami. Aku sampai mengasingkan diri karena aib yang kutanggung. Dan untuk semua ini, dia ingin meminta maaf?
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...