61. Bibit Permusuhan

421 31 3
                                    


***

"Dad, kami pulang saja! Antar kami pulang saja! Tidak apa-apa kalau kami tinggal di rumah yang tidak bagus, asalkan Mommy tidak menangis lagi!" Lian yang pemikirannya memang paling dewasa di antara mereka bertiga, menarik ujung bajuku, sembari menatapku penuh permohonan.

"Iya. Lisa nggak papa kalau jendela kamarnya berlubang, Dad. Kalau TVnya tidak besar juga tidak masalah. Kakak itu jahat! Dia dorong-dorong Alan, pas Alan coba lihat mobil-mobilan yang di dekat tangga! Sampai Alan jatuh kepalanya terkena tembok," adu Lisa di sela tangisnya. Membuat hatiku tersayat.

"Alan, benarkah? Apa yang Kakak Rain lakukan? Yang mana yang sakit? Coba Daddy lihat!" Aku berjongkok, mensejajarkan tinggiku dengan mereka.

Alan menggeleng. "Itu tidak sakit, Dad. Nanti sebentar juga sembuh. Alan kan laki-laki, jadi harus tangguh buat jagain Mommy."

Kupeluk tubuh mungil itu. Meminta maaf pada mereka apa yang sudah terjadi. Seharusnya, aku menyiapkan sambutan yang hangat di momen pertama mereka pulang. Bukan kekacauan seperti yang barusan terjadi.

"Sam, tolong temani anak-anak dulu! Saya ingin bicara berdua dengan Dira sebentar," kataku pada Samuel yang baru datang setelah mengantar Rain ke kamarnya.

"Baik, Tuan!"

"Anak-anak, ikut Sam sebentar, ya! Daddy ingin bicara pada Mommy dulu!" kataku memberi pengertian pada anak-anak.

Syukurlah anak-anak mau menuruti. Mereka mengikuti langkah Sam masuk ke dalam. Setelah mereka hilang dari pandangan, aku memeluk erat wanitaku. Kubisikkan kata maaf berulang kali padanya yang menangis terisak-isak. Aku tidak tahu, sedalam apa luka yang sudah menggoresnya. Pasti yang barusan terjadi sangat menyakitkan baginya. Semua ini salahku.

"Ra, jangan berpikir untuk pergi lagi, ya! Kakak benar-benar nggak akan bisa hidup tanpa Dira lagi. Kakak mohon, jangan sekali pun berpikir untuk ninggalin Kakak, apa pun yang terjadi! Kita lewati semuanya bersama, ya!" kataku sembari mengecupi berkali-kali pucuk kepala Dira dalam pelukanku.

Aku menunggu Dira tenang. Setelah tangisannya mereda, aku mengajaknya duduk di sofa. Aku akan mulai memberinya penjelasan.

"Maaf, ya! Kakak belum sempat memberi Rain pengertian. Maaf kalau, ucapan Rain tadi membuat Dira nggak nyaman! Kakak nggak becus jagain anak kita. Kakak memang ayah yang buruk! Kakak bahkan membuat seorang anak membenci ibunya sendiri. Hukum Kakak apa pun, asal jangan pergi dari sisi Kakak, Ra!" Aku bersimpuh di hadapan Dira. Memohon pengampunan untuk semua yang sudah terjadi.

"Nggak papa. Dira nggak akan pergi lagi!" katanya yang membuatku lega luar biasa.

"Ra! Kakak pantas kamu hukum! Kakak salah."

"Tidak papa. Dira yang salah karena pergi. Ini konsekuensi untuk keputusan yang Dira ambil. Nggak papa! Nggak papa!"

"Ra!" Aku masih tidak percaya dengan ucapannya. Kupikir, Dira akan sangat marah dan pergi. Tapi, kenapa Dira begitu mudah menerimanya? Kenapa dia tidak marah? Apa Dira memang sudah sedewasa ini sekarang? Sehingga bisa begitu tenang menghadapi masalah. Tapi, ini begitu janggal. Entah kenapa, hatiku merasa tidak tenang.

"Kakak beri pengertian ke Rain saja, ya! Dia juga butuh penjelasan. Dira yang akan kasih penjelasan ke anak-anak. Lagian mereka belum sarapan, mereka pasti lapar."

"Ra! Dira beneran nggak marah?" Aku mencoba menggali apa yang Dira sembunyikan. Tidak ingin ada satu hal pun yang terlewat.

Dira menggeleng. Mengusap air mata di wajahnya, lalu menarik napas berat. "Dira nggak papa!"

Aku masih ingin bersamanya lebih lama. Menenangkan hati wanitaku yang pasti sedang kesakitan. Menghiburnya sebisa mungkin. Tidak ingin membuatnya terluka walau sedikit saja. Namun, Dira terus meyakinkanku. Membuatku akhirnya terpaksa menurutinya.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang