Bagian 24

567 19 4
                                    

.
.
.


"Dia memang bukan cinta pertamaku, Ra. Sudah ada beberapa orang yang lewat dan mengisi hatiku sebelumnya. Namun, dia cowok satu-satunya yang membalas perasaanku. Yang selalu bisa membuatku bahagia. Yang selalu memberikan aku perhatian dan dorongan. Aku selalu merasa cantik dan berharga saat bersamanya. Hingga, aku menaruh hati padanya. Semuanya terasa begitu cepat. Tiba-tiba saja, kami sudah bertunangan tanpa berpacaran terlebih dahulu. Dia begitu manis. Meski kadang dingin dan cuek, tapi Alvin sangat baik. Romantis kadang-kadang."

Cerita Kak Desi seperti dengungan di telingaku. Aku tidak lagi fokus padanya. Mataku menatap tajam figura dalam tanganku. Dadaku sesak dan sakit sekali. Jika saja kamar Kakakku tidak meremang, dia pasti melihat air mataku yang menggenang. Rasanya, ini terlalu tiba-tiba.

"Aku sempat berpikir, Ra. Jika tidak dengan Alvin, aku tidak ingin menikah selamanya. Karena itu, saat dia tiba-tiba membatalkan pernikahan kami, aku sudah tidak punya semangat hidup lagi. Lebih baik aku mati, daripada hidup menanggung malu. Aku rasanya sudah memberikan yang terbaik. Dia laki-laki pertama yang membuatku meleleh separah ini. Mencintai begitu dalam lalu tiba-tiba dikecewakan, benar-benar sangat menyakitkan."

Ya. Mencintai begitu dalam, lalu tiba-tiba dikecewakan ... memang sesakit ini. Sama dengan yang aku rasakan sekarang. Ketika aku baru tahu, ternyata, orang yang melukai kakak perempuanku adalah orang yang sama dengan yang menghancurkan masa depanku. Pria itu, bukan hanya menghancurkanku, tapi juga hidup Kak Desi dan keluargaku. Dia akar dari masalah di keluargaku.

Seandainya tidak ada dia, aku pasti sedang kuliah dengan bahagia. Merajut masa depan penuh impian. Kak Desi, tanpanya mungkin sedang menjalin cinta dengan laki-laki baik yang serius. Bunda juga pasti tidak akan sakit. Kak Andri tidak akan marah padaku, dan Ayah -meski tetap galak-, tidak akan sampai melarangku pergi dari rumah. Semua masalah, asalnya hanya dari satu orang.

Lalu, apa yang pria itu katakan? Setelah menghancurkan pernikahan impian kakak perempuanku, dia ingin menikahiku? Mengajakku menikah diam-diam? Yang benar saja?

Bila aku tahu dari awal, jika tunangan Kak Desi itu dirinya, aku tidak akan memberinya maaf dan kesempatan kedua. Semua sudah berakhir. Kisah kami tidak akan sejauh ini. Saat pertama dia menemuiku dan Rain, aku pasti sudah mengusirnya.

Dia pikir, dirinya siapa, bisa seenaknya menyakiti hati kakakku? Lalu, setelah membuat keluargaku berantakan, dia ingin menikahiku diam-diam? Gila. Laki-laki itu benar-benar sudah gila. Aku seharusnya tidak boleh percaya lagi dengannya. Sekarang, aku harus menelan sendiri rasa pahit dari berharap padanya. Terlalu banyak asa dan keinginan yang sudah aku bangun di atas hubungan kami. Namun kini, semua sudah sirna. Hancur tak tersisa. Aku mengakhiri kisah kami, sampai di sini.

"Kakak benar-benar mencintainya?" aku bertanya dengan getir.

"Ya. Tentu saja. Dia adalah separuh jiwa Kakak."

☆☆♡☆☆


Aku menangis terisak.

Ritualku setiap malam. Aku selalu menumpahkan air mataku setiap menjelang tidur. Terkadang, aku masih menangis dalam tidurku. Menyesakkan sekali. Aku hancur. Aku tidak punya alasan lagi untuk melanjutkan hidup. Sedikit harapan yang ada, sudah remuk oleh penghianatan pria itu.

Aku merasa bersalah. Secara tidak langsung, batalnya pernikahan Kak Desi karena aku pulang. Aku yang membuat kacau di sini. Seharusnya, aku tetap bersama Kak Gita, tidak usah pulang saja. Nyatanya di sini aku hanya tersakiti.

Kak Andri belum juga luluh padaku. Ayah masih cuek seperti biasa. Belum mengizinkanku pergi juga belum memberikanku ponselku. Aku galau. Tidak bisa menghubungi siapa pun. Tidak ada hiburan. Aku stres. Pusing. Ditambah lagi hatiku tidak karuan.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang