Bagian 47

469 21 2
                                    

.
.
.

Matahari pagi menusuk mataku dengan tajam. Membuatku menggeliat malas dalam tidurku. Rasanya baru sebentar aku terlelap. Kenapa cepat sekali pagi datang. Salah sendiri habis Subuh tidur lagi. Ini semua gara-gara Kak Alvin. Setelah semalam melakukannya sampai aku ketiduran, pagi tadi memintanya lagi. Dan aku selalu saja tidak pernah bisa menolaknya.

"Selamat pagi, Sayang!" Goncangan di bahuku menarikku paksa untuk terbangun.

"Bunda!" aku mengerang malas sembari menggeliat dan langsung sadar, jika aku polos di balik selimut tebal yang membungkusku. Segera aku merapatkan selimutku agar Bunda tidak menyadarinya. Namun kekehan geli Bunda membuatku sadar jika sudah terlambat menyembunyikannya. Bunda sudah tahu.

"Sudah jam setengah 9, Sayang!" Bunda menutup mulutnya untuk menyembunyikan kekehannya yang semakin keras.

"Bunda!" kataku merajuk manja karena Bunda masih juga menggodaku.

"Diranya Bunda sudah besar. Hm ... Rain masih terlalu kecil untuk punya adik, kalian bermain aman, kan?" Bunda menutup mulutnya di akhir ucapannya.

Bermain aman? Ya Tuhan! Padahal waktu itu kami sudah sempat membahasnya. Kak Alvin sudah berjanji untuk bermain aman, tapi yang semalam aku benar-benar lupa. Aku membiarkan Kak Alvin mengeluarkan kecebongnya di dalam. Benar-benar! Kenapa dia tidak mengingatkan aku?

"Kak Alvin di mana?" Aku bersiap bangun dari ranjang dengan terburu-buru.

"Di luar bersama Rain. Berpakaian dulu, sarapan untuk isi ulang energi," Bunda mengusap lembut kepalaku lalu berlalu keluar kamar.

Aku langsung bangun dari ranjang saat Bunda benar-benar sudah keluar dari kamar. Dengan handuk melilit tubuh polosku, aku berjalan cepat ke kamar mandi. Mandi keramas kilat tak sampai 10 menit, memakai baju yang bersih. Tanpa mengeringkan rambutku dan tanpa memakai riasan di wajahku, aku memungut baju Kak Alvin yang berserakan di lantai, melemparnya ke keranjang cucian kotor kemudian berlari keluar kamar.

"Kak Alvin! Kak!? Kak Alvin!" aku berteriak sepanjang jalan dari kamar. Dan langsung menemukan keberadaannya saat mendengar tawa Rain di ruang tamu.

Aku melihat Rain sedang tiduran di sofa bed dengan Kak Andri di sebelahnya. Kak Alvin dan Ayah sedang bermain catur di dekat mereka. Bunda sibuk mengambil foto Rain dengan kamera ponselnya. Dan beberapa kali tersenyum saat mendapat foto yang bagus dari Rain.

"Mau ke mana, Dhek? Tumben bangun tidur langsung keramas?" Kak Andri bertanya dengan wajah bodohnya. Aku menatapnya dengan kesal, saat mendapati kedutan samar di sudut bibirnya karena menahan senyum geli.

"Andri! Jangan ganggu adikmu!" Bunda memperingati Kak Andri dengan lembut. Namun aku juga melihat kekehan samar di bibirnya. Ayah juga mengulum senyum tertahan membuatku tambah kesal.

"Sudah sarapan belum, Sayang?" Kak Alvin mengambil tanganku di sisi tubuhku, lalu mengecupnya lembut sebelum kemudian menarikku untuk duduk di sampingnya.

"Kak!" Aku merendahkan kepalaku agar sejajar dengan kepalanya, karena aku duduk lebih tinggi darinya di tangan sofa, lalu membisik pelan di telinganya, "Kakak udah janji mau main aman, tapi yang semalam Kakak enggak main aman? Sengaja ya?"

"Dira, jangan kacaukan permainan Ayah! Ayah harus menang kali ini." Ayah membuatku menatapnya tak mengerti. "Jangan ajak Alvin tidur lagi! Kamu bahkan baru bangun tidur."

Candaan yang Ayah keluarkan, langsung membuat pecah tawa seluruh orang di ruangan ini. Kak Alvin yang ikut tertawa langsung berdehem-dehem pelan untuk meredakan tawanya, ketika aku melotot penuh peringatan padanya. Namun gagal sepenuhnya. Kak Alvin benar-benar ikut menertawakanku juga. Ayah apa-apaan sih? Dan sejak kapan Ayah bisa bercanda seperti ini? Di mana wajah kakunya?

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang