.
.
.
Aku baru selesai mandi, saat mendengar ketukan pintu kamarku yang awalnya pelan berubah menjadi gedoran. Aku tahu, siapa tamu tidak sopan yang berani melakukan itu padaku. Jadi, setelah membuka pintu, aku menghadangnya dengan tangan terlipat di dada.
"Good morning, Honey!" sapanya dengan tanpa rasa bersalah. Senyum menyebalkan tak lepas dari wajahnya yang juga tak kalah menyebalkan.
"Nggak sopan gedor-gedor! Kalau Rain pas tidur gimana?" tegurku dengan kesal.
"Tapi enggak lagi tidur, kan? Sedang apa anak aku?" Kevin langsung nyelonong masuk ke dalam kamarku. Bahkan, tubuhnya sedikit mendorongku yang berdiri di ambang pintu. Membuatku hanya bisa melongo tak percaya.
"Ya ampun, kamar gadis kok berantakan. Ini kalau Kak Alvin lihat, udah diomelin. Secara itu manusia tidak suka yang kotor dan berantakan. Semua yang ada di hidupnya rapi, bersih dan tertata," ujar Kevin yang kubenarkan dalam hati.
Alvin itu tidak betah jika berada di tempat yang kotor atau berantakan. Makanya, dia rajinnya kebangetan. Nggak bisa diem kalau melihat sesuatu yang mengganggu matanya. Sangat cocok dengan Kak Desi yang sangat menyukai kebersihan dan kerapian. Jika dipikir-pikir lagi, mereka cocok menjadi pasangan. Memikirkan itu, hatiku kembali nyeri. Mengingat kejadian semalam, di mana kami saling menyerang dan bertahan. Beruntung tidak ada yang memergoki saat wajah kami saling bertemu.
"Ciee langsung inget. Sesayang itu ya kamu sama dia? Heran, bisa-bisanya kamu punya pacar seganteng aku, malah milih dihamilin Kakak aku. Dan juga, Kak Alvin setiap saat dikelilingi perempuan-perempuan sexy dan berkelas, malah milih bocah ingusan yang dadanya aja masih rata."
"Kev! Kamu kok mulutnya pedes banget sekarang? Kamu ganti kelamin jadi cewek, ya? Bawel banget!" Kusikut keras pinggangnya membuat pria itu meringis.
"Sembarangan kalau ngomong! Punya aku masih batang, ya. Mau aku buktikan? Mau aku bukain?"
"Amit-amit! Nggak mau! Keluar dulu sana! Aku mau ganti baju. Tunggu di bawah aja!" Usirku padanya yang malah berniat tiduran di ranjangku.
"Ganti aja nggak papa. Aku nggak bakalan ngintip." Menutup wajahnya dengan kelima jari tangan kanannya yang tidak dia rapatkan. Sehingga masih bisa melihat dengan jelas dari sela-selanya.
"Maunya kamu. Mana boleh percaya sama player kayak kamu. Udah sana buruan! Nanti Rain keburu rewel."
"Dandan yang cantik!" katanya seraya berjalan ke pintu kamarku. Namun, saat melewatiku, tangannya dengan kurang ajar memukul pantatku.
"Hey, Kev! Itu pelecehan!" seruku tak terima. Hendak mencubitnya, tapi pria itu sudah berlari menjauh dengan tawanya yang menyebalkan.
Namun, aku berhasil membalasnya saat kami sudah berada di mobil. Rain di pangkuanku sampai terkejut mendengar suara Kevin yang menjerit karena cubitanku di pahanya.
"Dira! Kamu suka banget nyakitin aku? Ini sakit banget. Pasti biru deh paha mulus aku," katanya dengan bersungut-sungut.
"Nyenyenyenye ...," ledekku dengan kesal setelah berhasil menenangkan Rain yang sempat menangis sebentar.
"Itu mulut minta dicium sampai dower!"
"Kev! Ada anak aku di sini! Kamu nggak boleh ngomong kasar. Nanti Rain ikut-ikutan," tegurku sembari menutup kedua telinga Rain dengan tangan.
"Emang bisa gitu? Dia kan masih bayi. Belum bisa ngomong?" Kevin terlihat penasaran sekali.
Jadilah sepanjang jalan, kami membahas seputar parenting. Meski tidak terlalu pintar, semenjak punya Rain, aku banyak belajar tentang parenting. Hingga setengah jam tak berasa, kami sudah sampai di pusat perbelanjaan besar di kota ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...