.
.
.
Tengah malam, aku terbangun karena perutku bergejolak. Entah jam berapa tadi aku tertidur. Aku ketiduran karena lelah menangis. Aku terbangun sudah lewat tengah malam. Aku langsung berlari ke kamar mandi. Memuntahkan isi perutku dengan hebat."Ada apa, Ra?" Kak Gita yang ikut terbangun, memijat tengkukku yang terduduk di depan closet. Mengeluarkan seluruh isi perutku hingga terasa kosong.
Aku masih terus muntah hingga beberapa saat. Sampai lemas sekali badanku. Ini benar-benar menyiksa rasanya.
"Ayo balik ka kamar, Kakak bantu!" Kak Gita bahkan membantuku membilas mulutku.
"Kak, minum!" Aku meminta air untuk meredakan mulutku yang pahit.
Kak Gita mengambilkan air mineral untukku. Kuteguk hampir separuh isinya, tapi kembali aku berlari ke kamar mandi untuk memuntahkannya. Sepertinya, lambungku menolak semua yang masuk. Menyisakan rasa melilit dan perih sekali.
"Sudah sejak kapan?" Kak Gita berkacak pinggang di depanku begitu aku terduduk lemas di sofa. Wajahnya garang sekali.
"Apa sih, Kak?" Aku bahkan sudah kehabisan tenaga untuk menjawabnya.
"Jangan pura-pura lagi! Rain masih terlalu kecil untuk punya adik, Ra! Kamu harusnya yang paling tahu itu. Apalagi, sekarang pria itu sudah jadi suami orang. Gimana nasibnya kamu kalau sampai kamu hamil lagi? Kamu nggak usah sembunyikan apa pun dari Kakak lagi! Sudah telat berapa hari? Kakak akan seret pria itu buat nikahin kamu malam ini juga!"
Antara ingin tertawa dan ingin menangis, aku mendengar ucapan penuh semangat Kak Gita. Gimana mau hamil, orang lakuin itu aja gagal terus? Aku sih yang gagalin, lebih tepatnya. Jadi tebakan Kak Gita 100% salah. Aku nggak mungkin sedang hamil. Tapi, mengerjainya pasti akan menyenangkan. Kapan lagi bisa membuat wanita hamil ini naik darah?
"Sudah lah, Kak. Aku bisa membesarkan anak-anakku sendiri," kataku pura-pura sedih, padahal hatiku tertawa berderai.
"Kamu gila, ya? Membesarkan anak seorang diri itu tidak mudah. Apalagi umur kamu masih 17 tahun. Mau kasih makan anak kamu apa? Seharusnya Kakak peringati kamu jauh-jauh hari! Kamu memang dasar bocah tidak bisa mengambil pelajaran, dari apa yang sudah terjadi! Bisa-bisanya kamu kembali berhubungan sama Alvin!" Kak Gita mencak-mencak, persis seperti tokoh kakak dalam kartun bocah kembar di TV.
"Ya gimana, Kak. Pengen, masa nggak boleh?" kataku asal, dengan bibir berkedut geli. Semakin ingin melihat Kak Gita marah.
"Pengen ya pengen. Dasar bocah! Dikasih sekali ketagihan. Harusnya kamu main aman, dong! Atau seenggaknya pasang KB. Jangan cuman enaknya doang, pas jadi bayi, bingung!"
Aku meringis. Akhirnya diam saja. Tidak tega membuatnya bertambah emosi. Jadilah malam itu juga, Kak Gita mendatangkan dokter kandungan dengan bantuan suaminya. Dan benar saja, aku tidak hamil. Aku hanya kelelahan dan karena makannya tidak teratur, aku dinyatakan maagh akut. Jadi, lambungku yang bermasalah, bukan rahimku yang kembali terisi.
Akibatnya, malam itu aku harus rela diomeli Kak Gita. Perempuan itu sangat marah karena merasa sudah dibohongi. Bahkan, sampai menangis semalaman. Aku yang tahu kalau itu karena hormon kehamilannya yang membuat emosinya tidak stabil, hanya bisa pasrah untuk ikutan tidak tidur demi menenangkannya. Beruntung Rain tidak rewel. Selalu saja, bayi itu pengertian.
☆☆♡☆☆
Rumah sudah sepi saat aku masuk. Sudah lewat jam sebelas malam. Tangan kananku memeluk Rain yang tertidur, tangan kiriku membawa tas yang cukup besar, berisi perlengkapan kami dan beberapa papper bag dari Kak Gita untuk Rain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...