65. Kebenaran II

225 13 0
                                    

.
.
.

Pagi harinya, kami datang ke rumah sakit. Seperti yang kubilang semalam. Aku tidak menuntut Dira untuk segera hamil lagi. Aku tidak ingin, Dira berpikir aku mengajaknya pulang hanya untuk keturunan saja. Aku tulus mencintainya. Biarlah untuk sekarang, kami menikmati waktu bersama dengan anak-anak. 4 orang anak saja sudah ramai.

Sebelum tahu aku memiliki anak lain selain Rain, aku sudah sangat bahagia sekali. Serasa hidupku memiliki tujuan. Dulu, aku hanya karyawan biasa di perusahaan Daddy. Tidak memiliki keinginan atau ambisi apa pun dalam hidup ini. Pekerjaan dan kehidupan yang aku jalani, hanya seperti air mengalir.

Kemudian, Dira datang. Dari pandangan pertama, aku langsung terpikat olehnya. Hari itu juga, aku seperti menemukan arah. Untuk pertama kalinya, aku memiliki keinginanku sendiri. Dan untuk pertama kalinya juga, aku mengabaikan larangan Daddy, untuk mengalah pada Kevin. Aku begitu menginginkan Dira, hingga menempuh jalan yang keliru.

Perlahan-lahan, aku mulai merintis bisnis sendiri. Beruntung, aku memiliki Sam sebagai tangan kanan setiaku. Terseok dan merayap di awal bisnis baruku, tidak menjadikan aku menyerah. Aku tetap mempertahankan langkah.

Hingga perlahan, bisnisku membesar. Meski sempat anjlok kala Dira pergi dariku, Rain adalah sumber kekuatanku. Memiliki Rain, membuat cintaku padaku Dira semakin menggunung. Aku bahkan pernah bersumpah untuk tidak mencintai wanita lain selain Dira. Di sepanjang hidupku.

Lalu, ketika aku tahu, Dira memberiku buah cinta lain selain Rain, tak bisa kugambarkan lagi, seberapa besar cintaku padanya. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengannya. Tanpa Dira, aku bagai berjalan tanpa lentera. Gelap.

"Kak, itu kayaknya Om Alvian!" kata Dira saat kami sedang melewati sebuah koridor, berniat pulang setelah selesai dari dokter.

Aku mengedarkan pandangan ke arah yang Dira maksud. Di sana, memang sedang ada Daddy. Berdiri di sisi sebuah jendela, dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Dari posisi kami, wajah Daddy terlihat jelas meski hanya dari samping.

"Dira nggak keberatan kalau kita sapa Daddy dulu?" tanyaku hati-hati. Takut Dira masih tidak nyaman pada Daddy.

"Hm ... boleh!" jawab Dira setelah terdiam beberapa saat.

"Ayo!" Aku menggenggam lembut tangan Dira. Menarik langkahnya ke arah pria paruh baya yang tidak terlalu jauh dari kami. "Kevin dirawat di sini. Mungkin, Daddy sedang menjenguknya."

Dira hanya mengangguk saja. Wajahnya tegang. Pasti sangat gugup karena akan bertemu dengan Daddy. Bahkan, tangan Dira yang kugenggam pun terasa basah oleh keringat.

"Dad!" panggilku pelan setelah kami berdiri di belakang Daddy.

"Al-vin?" Daddy kaget melihatku datang bersama Dira. "Dira, apa kabar?" senyuman hangat Daddy, membuatku lega.

"Ba-baik, Om!" Dira menjawab pelan.

"Kok, Om? Kamu itu sudah jadi putri saya sekarang! Panggil Daddy, dong!"

"A-ah ... iya, Dad!" Dira sempat terkejut oleh sikap Daddy. Ragu-ragu Dira memberikan respon.

"Setelah sekian lama Daddy nunggu, akhirnya Alvin mau bawa kamu ketemu Daddy." Menarik lengan Dira, membawanya duduk di kursi. Membuatku yang serasa tak dianggap hanya melongo saja. "Al, belikan Daddy kopi di seberang rumah sakit! Pagi tadi Daddy lupa belum ngopi!"

Sepertinya sengaja. Daddy ingin membuatku meninggalkan Dira dengannya. Meski sangat tidak rela, tapi aku juga tidak mungkin menolaknya. Mungkin, Daddy ingin minta maaf pada Dira. Hanya saja, malu kalau ada aku di antara mereka.

"Sayang, Kakak ke depan sebentar, ya! Tunggu di sini sama Daddy. Kalau Daddy aneh-aneh, langsung teriak aja!" kataku pada Dira sebelum pergi, membuat wanitaku itu tertawa renyah.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang