.
.
.Sebenarnya, aku sudah ingin pulang sore tadi. Takut keluargaku menunggu. Apalagi, aku belum bilang ingin pergi berapa lama. Kak Andri sempat nanya minta dijemput atau pulang diantar, aku bilang belum tahu. Terserah Kak Gita. Ingat, aku membawa Kak Gita dalam kebohongan ini. Dan seperti yang selalu orang bilang, sekali bohong, akan ada kebohongan lain untuk menutupinya.
Namun, siapa sangka, jika setelah seharian gerimis, sorenya hujan badai. Memang tidak masalah aku pulang karena naik mobil, jadi tidak akan kehujanan. Tetapi, entah setan apa yang membuatku mengiyakan tawaran Ayah Rain untuk menginap saja malam ini di apartemennya.
"Hujannya deras sekali. Sepertinya akan ada badai. Apa tidak sebaiknya menginap saja? Kasihan Rain. Lagipula, kita belum jadi jalan-jalan. Kalau saya lihat di perkiraan cuaca, sepertinya esok hari akan cerah. Kita bisa pergi jalan-jalan esok pagi," katanya sore tadi, saat aku sedang berkemas untuk pulang.
"Menginap?" Aku mengerjap. Satu kata itu terdengar menakutkan sekaligus menantang. Bermalam seatap dengan laki-laki yang merupakan ayah dari putraku?
"Iya. Biar besok pagi-pagi bisa langsung berangkat jalan-jalan. Kita ke Bukit Selatan. Gimana?" Seakan tahu jika aku sangat ingin pergi ke tempat itu.
"Ta-tapi ..." Aku belum izin pada orang rumah.
Laki-laki itu menatapku dengan alis terangkat. Menanti lanjutan kalimat yang hendak aku utarakan. Namun, tatapan tajam itu justru membuat lidahku kelu. Aku kesulitan untuk berkata-kata. Pesonanya, selalu bisa memerangkapku. Membuatku seperti orang bodoh, yang lupa pada lanjutan kalimatku sendiri.
"Ya sudah. Menginap saja."
Dan justru, kalimat itu yang meluncur keluar. Seperti kaki yang berjalan di permukaan yang licin. Tiba-tiba terpeleset. Begitu juga mulutku yang malah menyetujui ajakannya untuk menginap. Seperti kata itu keluar begitu saja. Aku saja kaget, mendengar ucapanku sendiri.
"M-maksud aku ..." Aku buru-buru ingin meluruskan ucapanku sebelumnya yang spontan.
"Iya. Nginap di sini saja. Jangan gugup! Harus membiasakan diri dengan saya. Kita kan akan menjadi partner hidup hingga ke surga," katanya tanpa peduli efek ucapannya padaku.
Aku tersedak. Oleh air ludahku sendiri. Bukankah sangat memalukan? Benar-benar memalukan. Terlihat sekali, jika aku masih sangat polos dalam masalah hati. Tentu saja. Umurku bahkan baru akan 17 tahun beberapa minggu lagi. Jadi, aku masih labil dan hatiku mudah luluh.
Dan itu, bukan satu-satunya kejadian memalukan yang menimpaku hari ini. Setelah menelepon Kak Andri dan berbohong jika aku menginap bersama Kak Gita, aku berniat kembali ke kamar. Melihat Rain apakah sudah bangun atau belum. Pasalnya, bocah itu sudah tertidur sejak sore tadi. Pasti kelelahan. Rain sangat bersemangat bermain bersama ayahnya.
Aku mengira, laki-laki itu tidak ada di kamar. Tadi aku melihatnya sedang mandi di kamar mandi yang ada di luar kamar. Jadi, tanpa mengantisipasi apa pun, aku meraih knop pintu dan mendorongnya perlahan. Mengedarkan netraku mencari sosok mungil yang terbaring di ranjang saat aku tinggalkan tadi. Namun, belum sempat melihat bocah itu, mataku bertumbukan dengan sosok laki-laki yang sedang berdiri di depan almari pakaian.
Tentu bukan masalah besar jika aku hanya melihat laki-laki itu berdiri. Hanya saja, melihat tangannya yang sedang menaikkan celana pendeknya ke atas, lalu kepalanya yang semula tertunduk langsung mendongak melihatku datang. Mata kami berserobok.
Deg deg deg deg
Detakan jantungku menggila. Di dalam sana, ayah dari putraku sedang dalam kondisi setengah polos. Dengan atasannya yang polos, dan bawah memakai boxer dan celana pendek yang baru baik sampai lutut. Ya Tuhan ... bahkan dalam keadaan yang memalukan begini, laki-laki itu terlihat sangat tampan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...