Bagian 2

1.8K 57 0
                                    

.
.
.

"Assalamu'alaikum!" itu suara Kak Gita.

"Wa'alaikumussalam!" jawabku setengah berteriak dari dalam kamar mandi. Aku memang sedang memandikan Rain sekarang.

"Sudah sarapan apa belum Ra?" suara Kak Gita dari depan kamar mandi yang kututup pintunya.

"Belum Kak. Tapi aku masih ada rendang di kulkas, tadi juga udah sempet masak nasi. Sarapan pakai itu aja," rendang yang kemarin malam kubeli memang masih setengah porsi lebih. Aku baru memakannya sedikit semalam karena sudah kenyang ngemil kentang goreng bumbu balado dan minum susu UHT.

"Ya udah, Kakak panasin dulu kalau gitu." Akhir kalimatnya terdengar semakin pelan, tanda dia mulai beranjak ke dapur.

Rumah yang sudah kutinggali selama hampir 5 bulan ini, cukup luas. Cukup untuk kutinggali berdua dengan Rain. Dan aku sudah membayar lunas di awal, untuk biaya sewa setahun ini. Ada dapur bersih yang menjadi satu dengan meja makan. Ada ruang tamu cukup besar dan ruang tengah tempat aku biasa menonton televisi. Kamar mandi dan kamar tidur meski berdekatan namun tidak satu pintu.

Dari pertama kali masuk saat mencari tempat tinggal dulu, aku sudah langsung suka dan yakin akan betah di sini. Apalagi, lingkungannya tidak terlalu ramai. Membuat aku yang ingin tenggelam dari pergaulan merasa nyaman. Beruntungnya lagi, aku adalah penyewa pertama, sehingga keadaan rumah ini benar-benar masih baru semua.

Selama 5 bulan itulah aku berdiam di dalam rumah ini. Jarang sekali aku keluar, kecuali untuk berbelanja. Selain itu, aku lebih memilih untuk berbelanja online saja. Jika kalian bertanya, darimana aku dapat uang? Itu adalah dari tabunganku sebelum tinggal di sini. Aku punya banyak uang tabungan yang sanggup menanggung hidupku selama beberapa tahun ke depan, bahkan meski aku tidak bekerja sama sekali. Apalagi dengan gaya hidup sederhanaku, rasanya akan sulit untuk menghabiskan uang itu.

Rain selesai ritual mandinya. Dia tidak pernah menangis saat mandi. Benar-benar anak laki-laki yang kuat. Bahkan saat aku memakaikannya minyak, bedak, lalu pakaian, dia tetap diam menatapku. Benar-benar menggemaskan bukan? Membuatku berhasrat untuk menggigit pipi apelnya.

Setelah mandi pagi begini, Rain biasanya nenen langsung tidur hingga menjelang siang nanti. Usai beres mendadaninya, Rain nenen dengan lahap. Apa aku sudah bilang kalau Rain menghisap dadaku seperti vampir? Ya. Serakus itu memang.

"Lagi apa ponakan, Onti?" Kak Gita masuk ke kamar tepat saat Rain hampir terlelap. Seperti biasa, Kak Gita akan langsung mencubit gemas pipi apel Rain hingga nenennya terlepas dan dia menangis.

"Kak! Jangan," aku merengek kesal.

"Abis ini pipi bawaannya minta dicubit mulu," Kak Gita terkikik sembari duduk di sebelahku. Tangannya iseng masih ingin menggapai pipi Rain.

"Ya ampun, Kak! Jangan!" Aku menampis tangannya.

"Lahap banget ini bocah nyusunya. Pasti dulu bapaknya juga lahap begini." Kak Gita berkata dengan jahilnya, membuatku melotot.

"Kak! Nanti Rain denger!"

"Heleh. Bayi mana ngerti? Kamu bikin adiknya di sebelah Rain juga nggak bakalan ngerti dia."

"Ya Allah ... Mulut kok lemes banget. Minta dijahit emang."

"Cie tersipu. Emang dasarnya masih suka kan kamu sama bapaknya Rain?"

"Apaan sih, Kak?" Aku menunduk menatap Rain yang mulai berhenti menghisap. Menyembunyikan wajahku yang tiba-tiba terasa panas. Benarkah aku tersipu?

"Tingkahnya kayak bocah polos. Aslinya bocah suhu. Mandi sana! Abis itu sarapan bareng." Kak Gita memang kalau ngomong kadang nggak ada filter. Tapi aslinya dia baik. Sangat baik malah.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang