Bagian 21

626 24 4
                                    

.
.
.

"Ki-kita terlalu jauh!"

Diujung kesadaranku yang semakin tipis, aku berhasil menghentikannya. Mendorong dadanya yang menindihku. Memutus rasa tidak karuan yang menggelitik bagian tubuhku. Membuat tangannya yang semakin kurang ajar juga berhenti. Kami terengah-engah. Yang barusan, itu sudah sangat jauh. Nyaris kami melakukannya. Aku tahu, jika aku tidak menghentikannya sekarang, dia tidak akan mau berhenti lagi. Dan akhirnya, kami akan menyesal.

"Ra!" Mata pria itu berkabut menatapku. Penuh kekecewaan dan merasa terganggu karena kesenangannya harus berhenti. Kemudian, menekan bagian dirinya yang begitu menginginkanku, agar aku menyadari hasratnya.

"Ta-tapi kita sudah sepakat!" Aku berusaha melawan tubuhku, yang mulai goyah hendak kembali pasrah padanya. Padahal, diriku terus berdesir dan berdenyut. Apalagi, merasakan sendiri bukti hasratnya yang membuatku tersipu.

"Aku pengen, Ra! Sebentar saja!"

Mengambil tanganku yang tak lagi menahannya, lalu memegangnya di atas kepalaku. Membuat aku benar-benar tidak bisa menolaknya lagi. Kemudian, dia kembali memberiku rasa mabuk yang luar biasa. Membuatku menginginkan yang lebih dari ini.

Pakaian kami sudah berantakan. Aku sudah hampir polos di depannya, dengan atasanku yang menumpuk di pinggang, dan bawahanku yang tak lagi terpasang sebagai mana semestinya. Laki-laki itu, sudah melepas atasannya, dan celananya sudah melorot. Memperlihatkan boxernya yang menjadi lapisan terakhir untuk bukti hasratnya.

"Tu-tunggu! Kita tidak boleh melakukan ini sebelum menikah. Kumohon, berikan ini hanya setelah kita menikah!"

Laki-laki itu menarik wajahnya, menatapku dengan seksama, menghembuskan napas panjang untuk mengusir gairahnya yang mulai mengambil alih dirinya. Mengelus pipiku dengan sayang, lalu mendaratkan kecupan di keningku.

"Kamu beneran mau nikah sama aku, kan?"

Aku mengangguk yakin. Setelah apa yang barusan terjadi, mana mungkin aku tidak yakin untuk menikah dengannya. Laki-laki yang selalu membuatku kehilangan akal sehat. Bagaimana bisa aku menolaknya, sedangkan tubuhku begitu menginginkannya?

"Sungguh?" tanyanya lagi yang belum puas dengan anggukanku.

"Iya."

"Janji? Ah tidak, kamu bersumpah?"

"Ya. Aku bersumpah."

"Apa pun yang terjadi?"

Meski bingung dengan pertanyaannya, tetapi aku mengiyakan. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam diriku, untuk menikah dengannya.

"Baiklah. Aku pegang sumpah kamu! Dan aku, akan bersabar sampai malam pernikahan kita nanti."

Aku tersenyum dan mengangguk. Mengecup kilat pipinya sebelum mendorong tubuhnya turun dari atas tubuhku. Pria itu berguling ke sebelahku, lalu duduk. Menyelimuti tubuh polosku dengan jaketnya. Membuatku tersipu.

"Sangat indah. Sama seperti dulu," katanya yang langsung membuatku semakin tersipu. Aku paham apa maksud ucapannya. Apalagi, arah tatapan matanya, jelas memberitahukan obyek yang dipujinya. "Ehem ... aku keluar dulu, ya! Sebentar!"

"Mau ke mana?" Aku menahan lengannya. Takut jika dirinya marah karena penolakanku barusan, lalu meninggalkanku sendirian di atas gunung.

"Hanya sebentar."

"Iya. Tapi mau ke mana? Kamu marah, ya? Jangan tinggalin aku di sini sendirian. Aku nanti nggak bisa turun sendiri."

Pria itu terkekeh. Mencondongkan tubuhnya padaku, lalu berkata pelan, "apa mau dilanjutkan yang barusan? Mumpung kamu juga belum berpakaian."

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang