.
.
.Jika dulu saat minggat dari rumah aku sering kerepotan karena harus mengurus apa-apa sendiri. Ditambah bayi montok di sisiku yang terkadang bisa sangat manja padaku. Berkebalikan dengan setelah di rumah Ayah sekarang. Aku hampir tidak pernah menggendong Rain.
Setiap Rain baru saja bangun dari tidurnya, Bunda akan langsung mengambilnya dan mengajaknya berjemur. Setelah itu, Bunda juga yang akan memandikan dan mendadaninya. Bunda baru akan memberikan Rain padaku saat Rain lapar atau rewel karena ngantuk. Siangnya Rain bermain bersama Kak Desi. Sore-sore Ayah yang gantian memonopoli. Nanti malamnya Kak Andri akan berada di kamarku hingga Rain mengantuk. Tak jarang, mereka berebut untuk mengajak Rain.
Jika dulu Rain selalunya berada di kamar sepanjang hari. Sekarang Rain hanya di dalam kamar saat tidur saja. Benar-benar membuatku jadi seperti pengangguran. Bingung ingin melakukan apa. Kegiatanku selain tidur, makan dan mandi, aku hanya memantau Rain atau membaca novel di kamar. Kembali seperti aku yang dulu. Namun, mungkin karena sudah terbiasa dengan keberadaan Rain di sisiku, aku merasa ada yang kurang. Terkadang aku seperti, tiba-tiba mencari keberadaan Rain, saat dia tidak berada dalam radius jarak pandangku.
Seperti hari ini. Aku bangun kesiangan. Setelah Shalat Subuh, Rain merengek minta nenen. Membuatku ketiduran saat masih menyusuinya. Dan ketika aku bangun, Rain sudah hilang. Aku ke kamar mandi sebentar untuk sekedar cuci muka dan sikat gigi. Lalu, bergegas keluar untuk mencari Rain.
Ada di ruang makan ternyata Rain. Dipangku Ayah yang sedang sarapan. Bunda juga ada di sebelah Ayah. Mereka hanya makan berdua, membuatku mengerutkan kening. Mencari kealpaan kedua kakakku yang biasanya tidak absen saat sarapan.
"Ke mana Kakak, Bun? Kok nggak ikut sarapan?" tanyaku setelah duduk di sebelah Bunda.
"Kak Andri belum pulang tugas malam. Kak Desi baru saja dijemput tunangannya." Bunda mengambilkanku piring. Kemudian mengisinya dengan menu sarapan.
"Tunangan?" aku membeo. Kapan Kak Desi tunangan?
"Iya. Kak Desi sudah tunangan 2 bulan yang lalu. Pernikahannya bulan depan. Kak Desi nggak cerita masa?" Bunda gantian yang menatapku penuh tanya. "Dira lupa kali. Kalian kan biasanya nggak pernah ada rahasia. Mungkin Kak Desi pernah cerita, tapi Dira nggak inget," ujar Bunda setelah aku menggelengkan kepala sedikit cengo.
"Emang Kak Desi punya pacar? Kok tiba-tiba tunangan?" Setahuku, kakak perempuanku itu tipe yang susah dekat sama cowok. Terlepas dari larangan Ayah yang menyuruh kami tidak pacaran sebelum menikah, Kak Desi memang sejak dulu tidak dekat dengan laki-laki. Dia selalu merasa insecure dengan tubuhnya yang sedikit gemuk. Kalau yang ditaksir ada beberapa, tapi tidak ada yang sampai pacaran.
"Itu atasannya di kantor. Mereka kenal saat Kak Desi pertama kali kerja di sana, hanya 3 bulan kemudian, mereka bertunangan. Mereka nggak pacaran sebelumnya," Bunda bercerita dengan wajah berbinar bahagia.
"Jadi gara-gara itu, Kak Desi diet ketat, juga mengonsumsi teh pelangsing? Karena mau nikah?" aku menemukan banyak teh pelangsing di dapur, juga Kakakku yang doyan makan dan pintar masak itu, terlihat mengontrol pola makannya. Aku belum sempat menanyakan padanya langsung.
"Iya. Takut gaun nikahannya nggak cukup," Bunda terkekeh.
"Yah, emang Kak Andri nggak papa kalau Kak Desi nikah duluan?" kali ini, aku bertanya pada Ayah yang diam saja mendengarkan obrolanku dan Bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...