.
.
."Sayang, masih marah?"
Malam itu, aku tidur membelakanginya. Masih kesal dengan kejadian sore tadi. Pokoknya kali ini, aku tidak akan luluh dengan mudah. Dia harus berusaha lebih keras untuk mendapat maaf dariku.
"Tapi kan belum tentu juga. Jangan marah, dong! Ya udah ... Kakak salah. Kakak minta maaf, ya! Gimana biar Diranya mau maafin Kakak?" Duduk di belakangku yang masih belum mau berbalik ke arahnya.
"Jangan marah lama-lama! Kakak bingung harus gimana kalau Dira marah begini," katanya dengan tangan mulai mengelusi rambutku.
Lama sekali pria itu berbicara sendiri, berusaha membuatku luluh. Ada mungkin setengah jam lebih. Terus menerus bilang agar aku jangan marah. Membuatku akhirnya menyerah. Membalikkan badan dan menutup mulutnya dengan tanganku.
"Berisik!" kataku sambil menarik tangannya agar rebah di sampingku. "Tidur aja udah malem!"
"Sayang, udah nggak marah, kan?" Senyuman mengembang di bibirnya.
Aku hanya bergumam. Masih jual mahal untuk bilang iya. Tubuhku sudah tenggelam di dadanya sepenuhnya. Menghidu aromanya yang menjadi favoritku sekarang. Meresapi kenyamanan dari tubuh laki-laki yang sudah menjadi suamiku ini.
"Besok kalau Kakak libur, kita jalan-jalan! Sudah lama kan kita nggak jalan-jalan sama Rain."
Daripada liburan, sebenarnya aku lebih kangen ke rumah Bunda. Sudah lama sekali tidak ke sana. Aku kangen. Ya meski pun harus bertemu Kak Desi. Terkadang, hanya melihatnya saja sudah membuatku sesak. Hatiku sakit. Mengingat betapa dia tega melukaiku yang sudah berkorban untuk kebahagiaannya. Entahlah, aku merasa sulit untuk pura-pura tidak ada apa-apa, setelah apa yang terjadi. Terlalu menyakitkan.
"Eeuuunnggghh ... Huueee ..."
Baru juga mau tidur, rengekan Rain membuatku kembali bangun. Mendekat ke bayi itu yang gelisah. Tangannya terulur minta diraih. Aku segera mengangkat tubuhnya ke pelukanku. Membawanya ke sofa untuk memberinya makan malam, padahal sebelum tidur tadi sudah.
"Rain bangun?" Berjalan mendekat dan duduk di sampingku tepat. "Rakus banget minumnya, Boy? Daddy nggak akan minta. Pelan-pelan saja supaya tidak tersedak. Ya ampun, Daddy tahu memang seenak itu, tapi tidak perlu buru-buru begitu! Apa perlu Daddy ajarin minum yang pintar?"
Aku memukul pelan lengannya dengan gemas. Harus banget dia bilang tahu rasanya pada bayi? Kalau pendengaran Rain jadi tercemar gimana? Apa dia sedang mencoba merusak kepolosan pria kecilku? Benar-benar.
"Terkadang Kakak cemburu lihat Rain dekat-dekat kamu," merengek seperti bocah.
"Apa? Ya ampun, Kakak aneh banget sih? Rain ya anak kamu sendiri," kataku yang tak habis pikir.
"Iya tahu. Tapi, kadang Kakak pengen egois, miliki kamu buat Kakak sendiri."
Aku hanya berdecak. Fokus memperhatikan Rain yang menyedot dadaku mulai memelan. Tanda dia sudah mulai kenyang dan hendak tidur lagi.
"Ra, Kakak serius!"
"Nggak usah aneh-aneh deh, Kak. Cemburu sama anak sendiri itu nggak wajar. Apalagi, yang Kakak cemburuin masih bayi. Siapa pun yang dengar bakalan menganggap Kakak aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...