Bagian 33

558 20 0
                                    

.
.
.

Aku hidup tapi mati. Semua kesakitan yang aku rasakan, membuatku benar-benar tidak bisa lagi merasakannya. Saking sakitnya, sampai tidak kurasa.

Setiap hari, aku menjalani hari dengan harapan agar esok atau lusa aku mati. Bunda akan membantuku mandi, lalu menyuapiku sarapan setiap pagi. Membantuku berpakaian, juga mendandaniku. Membuatku seperti bocah kecil yang serba dilayani.

Setelah itu, aku hanya akan duduk melamun di kamarku. Tidak melakukan apa pun. Aku bahkan tidak mau bilang saat ingin BAB atau BAK. Aku tahu, itu menjijikkan. Tapi, Bunda dan Mbak Asih dengan telaten merawatku. Mau direpotkan jika sewaktu-waktu aku mengotori ranjang. Karena, aku menolak memakai pempers. Selebihnya, aku hanya akan tidur.

Selalu seperti itu, dan aku tidak bosan. Bahkan, meski ponselku sudah dikembalikan Ayah, aku masih belum menyentuhnya. Hanya membiarkannya saja tergeletak di nakas. Bunda sesekali akan memeriksa dan memastikan baterainya masih ada jika sewaktu-waktu aku butuh. Lalu mengisi dayanya saat habis tanpa kuminta.

Aku sudah tidak memiliki gairah hidup lagi. Aku tidak punya harapan dan keinginan dalam hidup ini. Hanya kematian yang sangat kuharapkan segera menghampiri.

Semua orang di rumah terlihat sangat menyayangiku. Tapi, aku tidak menghiraukan mereka. Mereka pernah bisa sangat tidak peduli padaku, kenapa aku harus peduli pada mereka.

Aku duduk di depan jendela kamarku. Melihat ke bawah, di mana Rain bermain bersama Kak Desi dan Alvin. Mereka seperti keluarga bahagia. Bocah itu sangat senang bersama Ayah dan istri ayahnya. Membuatku tersenyum sinis. Dasar bocah sialan! Disaat aku jatuh dan terpuruk begini, dia begitu bahagia bermain di luar sana.

Alvin pasti sangat bahagia, karena bisa bermain dengan putranya sepuas hati. Bahkan, aku tahu, jika malam tiba, Rain akan tidur di kamar mereka. Aku dengar dari tangisan bocah itu setiap malam. Kamar kami berdampingan, jadi aku tahu.

Bukankah, ini yang Alvin mau? Bisa bersama putranya, kapan pun dia mau. Dari awal, dia mendekatiku hanya untuk memiliki pewarisnya. Dari awal, dia tidak benar-benar mencintaiku. Dia hanya ingin, aku melahirkan penerus untuknya.

Meski, berkali-kali dia memohon dan meminta agar aku bersedia menikah dengannya. Bahkan semalam pun, dia diam-diam mendatangi kamarku dan mengatakan itu. Tapi, hatiku tidak terketuk sama sekali. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengannya. Setelah aku pikir-pikir lagi, begitu banyak penderitaan dan kesakitan yang kudapat darinya.

Aku menatap sekali lagi, bayi yang rasanya baru kemarin menangis dalam pelukanku, kini sedang merangkak mendekat ke ayahnya. Ada setitik rindu yang langsung kutepis. Aku bahkan keras kepala, tidak mau meraihnya saat bayi itu menangis kencang minta kugendong. Yang ada, aku mencubit lengannya jika dia ada di dekatku.

Aku mengabaikan perasaan keibuan dan naluri yang tersambung padanya. Sudah cukup. Aku tidak ingin terluka lagi. Bocah itu, sudah terlalu sering menyakitiku. Dan aku tidak bisa menahannya lagi.

☆☆♡☆☆


Aku mengendap dalam sepi. Pertama kalinya aku turun dari lantai dua sejak pulang dari rumah sakit. Ini sudah jam 2 pagi. Tapi, aku belum bisa terlelap sama sekali.

Aku kelaparan tengah malam. Dengan diam, aku ke dapur dan mencari makanan. Hingga aku menemukan kue coklat entah milik siapa. Menjilat bibir, aku begitu menginginkannya. Sehingga, aku mengeluarkannya dari kulkas dan langsung memakannya dalam potongan besar.

Enak sekali. Entah siapa yang punya aku tidak peduli. Aku makan dengan rakus. Dengan rambut berantakan, piyama tidurku yang berupa dress pendek berwarna putih, dan makanku seperti orang kesetanan, aku terlihat seperti orang gila.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang