54. Keputusan

432 23 0
                                    

Assalamu'alaikum... Berapa hari nggak up cerita, ya? Ada yang nungguin, nggak? Hehe ... maafkeun karena hpnya harus nginep lagi di bengkel, jadi baru bisa up sekarang..

Terima kasih buat yang udah kasih semangat dengan vote, komen dan follow... Itu beneran berarti banget buat aku yang masih pemula ini... Terima kasih juga buat silent readernya, nggak papa kok, mungkin ini karma buat aku yang juga sering gitu ke cerita orang... Jangan ditiru, ya.. 😂😂

Minta tolong tandai typo, ya!

***

"Mommy? Apa itu Mommy selain Mama? Apa itu berarti aku punya Mommy? Lalu, di mana Mommy sekarang?"

Aku menghela napas berat. Sepertinya sudah cukup aku menyembunyikan ini semua. Rain berhak tahu dan mengenal ibunya, kan? Dira juga pasti berharap, putranya tidak melupakannya. Apalagi, jika sewaktu-waktu Dira pulang, Rain bisa mengenalinya.

"Ya. Rain punya Mommy," kataku setelah ragu sebentar.

"Dad, di mana Mommy sekarang? Apa aku bisa bertemu dengan Mommy?" Binar di mata beningnya membuatku tidak bisa menahan air mataku lagi. Mataku mengembang. Lalu, perlahan air mata mengalir ke pipi. Tanpa malu, kubiarkan Rain melihat kerapuhan Daddynya ini.

"Daddy bertengkar sama Mommy." Aku hampir tidak sanggup mengeluarkan suaraku. "Sama seperti Rain yang suka ngambek kalau sedang marah. Mommy juga marah dan ngambek sama Daddy. Jadi, Mommy pergi dulu dari rumah, sampai marahnya hilang."

"Ck. Lama sekali marahnya? Aku nggak pernah marah sampai lama-lama. Aku nggak suka punya Mommy yang begitu. Kekanakan!" Rain bersedekap dada dengan angkuh.

Aku buru-buru menghapus air mataku. Menatap Rain dengan perasaan bersalah. Jika bukan karenaku, Dira tidak akan pergi. Rain tidak akan menjadi begini. "Rain, tidak boleh begitu!"

"Kenapa? Kalau Mommy ninggalin aku, berarti tidak sayang lagi denganku. Kalau sayang, dia pasti sudah pulang lagi, kan? Nyatanya, dia nggak pulang-pulang. Lebih baik, Daddy lupakan Mommy yang itu! Daddy menikah saja dengan Mama!"

"Mommy sangat menyayangi Rain. Daddy salahnya terlalu besar, jadi Mommy tidak bisa memaafkan Daddy dengan mudah," aku berusaha membujuk, tidak ingin memarahi Rain, karena dia belum tahu, sebaik apa Dira.

"Oke. Jadi gini, kalau dia marah sama Daddy, nggak bisa ngasih maaf, harusnya kan tetap pulang buat aku. Itu kalau dia sayang sama aku. Nyatanya enggak, kan? Berarti dia memang tidak sayang sama aku. Sudah, lebih baik dia tidak usah pulang saja! Daddy menikah sama Mama dan kita akan hidup bahagia."

Dira, maafkan Kakak! Rain tidak mengenal kamu, itu salah Kakak. Pulanglah, Ra! Aku tidak tahu, bagaimana cara menghadirkan sosok kamu di sisi Rain, sedang kamu jauh entah di mana.

***

"Rain, Daddy dengar, tadi Rain berkelahi di sekolah?"

Aku bertanya dengan hati-hati, setelah membantunya bersiap untuk tidur. Usai makan malam tadi, aku membawanya kembali ke kamar. Menggosok gigi dan berganti piyama. Lalu, menemaninya bermain game di ponsel. Setelah lelah, Rain sempat mengajakku menonton movie, dan di tengah-tengah movie, dia minta tidur.

"Mama yang cerita, ya? Ck. Padahal, aku sudah bilang jangan bilang ke Daddy." Mengerucutkan bibirnya dengan lucu.

"Daddy yang lebih berhak tahu daripada Mama. Daddy yang minta Mama buat bilang apa pun yang terjadi sama Rain," kataku dengan lembut.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang