Bagian 26

559 18 2
                                    

.
.
.


Dua hari lagi pernikahan dilaksanakan. Keluarga besar sudah ada yang datang beberapa. Apalagi, keluarga Bunda memang kebanyakan dari luar kota. Meski pun katanya pernikahan sederhana, tetap saja keluarga dekat diundang untuk datang. Mengingat ini adalah acara mantu pertama keluarga kami. Jadi, banyak yang mulai berdatangan untuk menginap. Sementara keluarga Ayah yang mayoritas berada satu kota dengan kami, sudah datang tetapi tidak menginap.

Persiapan sudah selesai. Karena Bunda tidak berkenan menerima sumbangan, tamu yang datang tidak banyak. Lebih seperti pertemuan keluarga besar. Yang memang jarang sekali terjadi.

Bunda adalah anak terakhir dari 4 bersaudara. Kedua orangtuanya sudah meninggal. Sehingga susah sekali untuk berkumpul. Apalagi, Kakak Bunda yang masih hidup tinggal satu orang. Jadi keluarga yang ada, sudah bukan keluarga inti lagi.

Sedangkan Ayah, Beliau anak pertama dari dua bersaudara. Hanya saja, adiknya sudah meninggal saat masih bujang. Jadi, hanya Ayah seorang. Kedua orangtua Ayah juga sudah meninggal. Sehingga keluarga Ayah yang tersisa, hanya sepupu-sepupunya saja yang aku tidak terlalu paham.

"Rain kok anteng banget ya, Ra. Budhe itu seneng kalau ngajak anak bayi yang anteng begini. Tahu banget ya, ibunya lagi repot ngurus nikahan tante? Pinter memang. Pengertian," celetuk Budhe Ina, Kakak Bunda satu-satunya yang masih hidup.

"Alhamdulillah Budhe. Dari bayi memang Rain jarang rewel. Anteng. Bahkan, kalau malam juga tidak pernah ngajak bergadang," kataku dengan bangga.

"Anak itu anugerah, Ra. Tidak peduli dia lahir karena kesalahan. Jangan pernah salahkan dia! Syukuri, karena banyak di luar sana yang meminta namun belum diberi. Bagaimana pun, dia ini yang nanti akan ngerumat kamu kalau kamu sudah tua. Dia yang akan berbakti sama kamu. Ibarat sedang bertani, Rain ini benihnya. Kalau kamu besarkan dengan baik, kamu didik dengan baik, kamu jaga dengan sungguh-sungguh, InsyaaAllah setelah besar nanti kamu yang akan panen.

"Jangan lupa juga, selalu serahkan ikhtiar kamu ke Allah! Itu yang paling penting. Sesulit apa pun, jika sandaran kamu benar, pasti akan dapat jalan keluar. Yang sabar untuk sekarang! Biarlah orang bilang apa. Jangan sampai, omongan orang membuat kamu benci dan menyalahkan anak kamu. Semua sudah takdir. Qadarullahu wa ma'a syafa'ala."

Aku memeluk Budhe Ina erat-erat. Beliau memang bijak sekali. Ilmu agamanya dalam. Nasihatnya selalu mengena di hati. Meski kami jarang bertemu, sekalinya bertemu, Budhe Ina serasa nenek untukku. Mengisi sosok yang tidak pernah ada di hidupku, mengingat semua kakek dan nenekku meninggal saat aku masih sangat kecil. Sehingga aku tidak memiliki memori apa pun tentang mereka.

"Terima kasih ya, Budhe. Sudah membesarkan hati Dira," kataku saat masih dalam pelukannya.

"Budhe sudah anggap kamu seperti anak Budhe sendiri. Jangan sungkan! Saat ada masalah, kalau nggak bisa cerita ke Bundamu atau Ayahmu atau ke kakakmu, ceritakan saja ke Budhe. InsyaaAllah Budhe amanah."

Aku mengangguk. Mataku berkaca. Disaat, aku kurang mendapat perhatian dari keluargaku akhir-akhir ini, Budhe yang jarang sekali kutemui, memberi kalimat penenang yang membuatku merasa tidak sendiri.

Alvin, sudah kuikhlaskan pada kakakku. Bunda dengan kondisinya yang sekarang, sangat sulit diajak bercerita karena aku selalu takut membuatnya kepikiran. Ayah dan Kak Andri masih dingin padaku. Kak Desi, entah mengapa, aku merasa dia sedikit jauh dariku. Jadi, aku benar-benar sendiri. Terkadang, aku ingin pergi saja ke tempat di mana mereka semua tidak menemukanku. Hanya hidup berdua bersama Rain. Tanpa mereka, mungkin aku akan baik-baik saja. Itu rasanya lebih baik. Daripada setiap hari bertemu, tapi saling membisu.

☆☆♡☆☆


Sore hari, kami sekeluarga besar mengadakan pesta rujak. Setelah lelah dengan semua persiapan untuk pernikahan besok pagi, kami berkumpul di ruang tengah sembari menyantap rujak bersama. Kebetulan, ada oleh-oleh dari kerabat Bunda berupa buah mangga muda dan beberapa buah hasil kebunnya.

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang