.
.
.Tepat setelah aku menginjak rumput halaman samping, Rain menangis jejeritan dengan sangat keras. Oh Tuhan, ini tidak baik. Jantungku bertalu sangat cepat.
"Kumohon diamlah, Sayang! Bantu Buna sebentar saja," bisikku berkali-kali, berharap Rain mau mengerti.
Namun, bukannya diam, Rain justru semakin menangis kencang. Aku berjalan dengan cepat melintasi halaman belakang. Hanya sedikit waktuku sebelum mereka menyadari bahwa aku melarikan diri. Dan jika Rain menangis begini, tidak akan sampai semenit mereka pasti akan tahu.
"Dira!!!" itu suara Bunda.
Aku menoleh sebentar ke belakang, Bunda dengan menjinjing gamisnya, berlari mengejarku. Aku berlari sekencang yang kubisa, tidak ingin kembali ke mereka. Tidak kupedulikan suara panggilan Bunda dan Kak Desi. Aku terus berlari sembari mengeratkan pelukanku ke tubuh Rain.
Aku sudah cukup jauh berlari. Aku terengah-engah. Rain cukup berat diajak berlari seperti ini. Melihat ke belakang, dan merasa lega sudah tidak ada siapa pun di sana. Mereka pasti sudah kehilangan jejakku. Terbayang hidup baru kami nanti akan lebih menyenangkan karena tidak ada lagi beban bisikan untuk pulang. Aku tidak mau pulang. Tidak akan. Mereka sudah bukan lagi tempat untukku pulang.
"Dira!" sial! Kenapa Kak Desi bisa mengejarku? Aku kembali bersiap untuk berlari, namun ucapan selanjutnya membuatku berhenti, "Bunda ... Bunda pingsan!"
Aku tidak peduli jika mereka tidak lagi menganggap aku sebagai bagian dari keluarga. Aku juga tidak peduli jika aku harus hidup hanya berdua bersama Rain. Tapi aku tidak bisa tidak peduli, jika hal buruk terjadi pada Bunda. Seperti ketika dulu Bunda juga sangat mempedulikan aku, sekarang aku pun juga seperti itu.
Mengetahui akan kebimbanganku, Kak Desi menghampiriku lalu menuntunku berjalan dengan cepat kembali ke arah datangku tadi. Hanya sebentar, dan aku langsung melihat tubuh Bunda dalam gendongan Ayah hendak menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah.
Kak Desi membantu Ayah menaikkan Bunda ke mobil. Aku hanya diam mematung, sembari merapal do'a untuk yang terbaik Bunda. Menyaksikan tubuh Bunda tenggelam ke badan mobil. Orang yang kucintai terluka karena berusaha menghentikanku. Air mataku keluar serasa tak ada habisnya.
Tergesa-gesa Ayah masuk ke balik kemudi, lalu menjalankan mobilnya meninggalkanku dan Kak Desi. Tunggu! Kenapa Kak Desi tidak ikut?
"Kak?" aku merasa heran karena Kak Desi tidak ikut pergi.
"Kamu pikir Kakak akan meninggalkanmu sendirian setelah percobaan melarikan diri barusan? Bunda akan langsung membunuh Kakak, kalau pas sadar nanti tahu, putri bandelnya ini kabur lagi," Kak Desi menarik telingaku membawaku masuk kembali ke rumah.
"Kak!" Aku protes karena tarikan tangannya di telingaku benar-benar sakit. Aku bahkan bukan anak kecil lagi sekarang, tapi apa ini? Dia memperlakukanku seperti aku anak TK?
"Sini! Kakak bahkan belum melihat dengan benar keponakan Kakak yang ganteng ini," meminta Rain dariku begitu kami masuk ke ruang tamu. "Uuluuuhhh gantengnya ponakan Tante! Bunda kamu pintar nyari bibit biar dapet yang mancung begini!" Kak Desi berceloteh sembari menggendong Rain, meninggalkanku yang sudah berasap karena ucapannya itu.
Kak Desi memang sangat konyol. Aku yakin dia akan sangat cocok bila bertemu dengan Kak Gita. Mereka sama-sama suka heboh dan ceplas-ceplos. Ah, tapi justru sifatnya itulah yang membuatku sangat merindukannya. Aku menyusul Kak Desi di sofa ruang tengah. Memeluknya erat menyalurkan rindu berat dalam dekapannya.
☆☆♡☆☆
Rain sudah tidur saat Adzan Isya' berkumandang. Anak itu memang aku biasakan tidur di awal waktu. Jadi setelah memastikan Rain nyaman di kamar, aku keluar dan menghampiri Kak Desi yang sedang sibuk di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...