66. Bertemu dan Berpisah

220 16 0
                                    

.
.
.

Tidak ada gunanya untuk terus marah pada apa yang sudah terjadi. Semua orang punya alasan atas semua keputusan yang diambilnya. Terkadang memang kenyataan bisa begitu menyakitkan. Namun, belajar dari banyak hal yang terjadi padaku belakangan ini, bahwa memaafkan jauh lebih baik.

Apa yang sudah Daddy lakukan di masa lalu, sudah sangat keterlaluan. Memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya. Bukan hanya itu, Daddy juga membuat fitnah yang menjadikan kebencian mengakar di antara keduanya.

Bukan hal mudah, untuk kemudian berlapang dada menerimanya. Ada pergolakan batin yang begitu kuat. Marah, kecewa dan sedih membaur menjadi satu. Mendesakku untuk melampiaskannya pada pria paruh baya yang memberiku begitu banyak kepahitan. Akan tetapi, Dira ada di sisiku. Wanita itu, meyakinkanku, bahwa apa yang Daddy lakukan, adalah karena cintanya kepadaku.

Rasanya memang menyakitkan. Namun, harus ingat bahwa terkadang, seseorang memakai cara yang kurang baik untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Bahkan diriku sendiri pun juga begitu pada Dira. Jadi, setelah hampir sepekan aku berpikir dan merenung, akhirnya kuputuskan untuk memaafkan Daddy.

Meski rasanya sudah sangat terlambat, Dira mendorongku untuk mencari keberadaan Mommy. Dia yakin, tidak akan ada cinta dari seorang ibu, yang padam untuk anaknya. Dan jika yang Daddy katakan benar, maka besar kemungkinan, Mommy juga menungguku.

"Kakak hanya perlu bertemu, say hai saja. Nanti apa yang terjadi setelah itu, Kakak pasrahkan sama Allah!"

Itu adalah kata-kata Dira yang setiap saat aku dengar. Wanitaku itu, begitu taat sekarang. Membuatku yang awalnya begitu jauh dari Tuhan, perlahan-lahan mendekat. Mengikuti langkahnya yang hijrah terlebih dahulu.

"Bagaimana kalau Mommy ternyata benci sama Kakak, Ra?" pertanyaan ini, menghantuiku siang dan malam. Membuat aku begitu takut untuk mengambil keputusan.

"Tidak ada ibu, yang membenci putranya. Kak, Dira pernah merasakan ketika Rain begitu menolak keberadaan Dira. Saat Rain sangat marah entah oleh apa. Hingga rasanya, jika boleh, Dira ingin pergi dari dunia ini. Namun, tidak ada sedikit pun rasa benci yang hadir dalam hati Dira untuk Rain. Hanya cinta dan kerinduan. Begitu Rain menerima Dira, tidak ada rasa lain, selain bahagia dan cinta."

Ah, terkadang Dira memang bisa sedewasa itu. Gadis berseragam putih abu-abu yang membuatku gila, nyatanya sudah menjadi gadis dewasa dengan cinta yang besar. Dira membawa begitu banyak hal. Menunjukkanku arah dan memberikan aku asa.

"Kakak yakin mau ikut turun?" tanya Dira saat aku menghentikan mobilku di depan rumah masa kecilnya.

Ya. Pada akhirnya, aku menuruti saran Dira untuk mencari Mommy. Rencana awalnya, Dira akan ikut bersamaku. Sedangkan anak-anak yang sudah mulai sekolah, sementara ditinggal dulu bersama Daddy, Sam dan Bi Ida. Namun, semalam ada kabar kurang baik dari keluarga mertua. Kesehatan Bunda kurang baik. Dira akhirnya, memutuskan untuk pulang. Sehingga pagi ini, setelah mengantarkan anak-anak sekolah, aku mengantar Dira ke mari.

"Kakak bisa terlambat ke bandara nanti," kata Dira lagi.

Aku melihat jam tangan. Ah, masih ada waktu. Lagipula, aku merasa perlu meminta maaf pada keluarga Dira untuk apa yang terjadi. Ini akan menjadi pertemuan pertama kali setelah sekian lama. Jadi, aku tidak mungkin membiarkan Dira sendirian.

"Masih ada waktu sebelum penerbangan. Kakak ingin masuk sebentar!" Aku mendahului Dira keluar dari mobil. Lalu, membukakan pintu untuknya.

"Kak Sam, ayo ikut mampir!" Dira berkata pada Sam yang menjadi supir kami. Membuatku sedikit cemburu.

"Tidak usah, Nyonya! Saya tunggu di mobil saja!" Beruntungnya Samuel mengerti mauku.

"Ah, ya sudah kalau begitu." Dira mencubit lembut pinggangku saat kami akhirnya melangkah memasuki rumah itu. "Kak Sam sudah banyak bantu kita. Kakak harus bersikap ramah padanya!"

Indira(in)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang