.
.
.Ini sudah hari ke-12 aku pulang ke rumah. Tak terasa, cepat sekali. Aku menjalani hidup lebih santai sejak malam itu. Meski omongan orang masih sering aku dengar, tetapi aku tidak bisa membuat semua orang diam, kan? Jadi, cara terbaik adalah aku yang mengontrol emosiku.
Aku menjadikan omongan mereka sebagai semangat untuk sukses. Aku, bukan pelacur kecil yang menjadi sugarbaby lalu melahirkan di usia yang belum genap 17 tahun. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa sukses suatu saat nanti. Lalu membuat mereka merubah pandangan mereka padaku dengan sendirinya.
Pagi-pagi sekali, setelah memandikan Rain, aku juga mandi. Membiarkan Bunda yang mendandani cucu montoknya itu. Sembari bersenandung ria, aku melakukan ritual pagiku. Kakiku sudah sembuh, jadi aku sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Dan hari ini, aku akan bertemu dengan Kak Gita setelah setengah bulan tidak bertemu.
Kebetulan, suami Kak Gita ada meeting dengan client di sebuah hotel tak jauh dari rumah Ayah. Kak Gita sudah mengabariku sejak dua hari yang lalu. Jadi kami membuat janji untuk bertemu. Rain memakai setelan yang senada dengan yang aku pakai. Aku akan mengajaknya, tentu saja. Kak Gita sudah mengancam akan meracuniku lalu memutilasi tubuhku, jika aku tidak membawa bayi kesayangannya. Aku tahu, itu hanya bercanda, tapi aku tetap menurutinya. Juga karena sepertinya, Rain sudah sangat merindukannya.
Ayah bekerja hari ini, Kak Andri dan Kak Desi juga bekerja, jadi tidak ada yang mengantarku. Aku berniat naik taksi online untuk ke sana. Aku takut Rain kena angin jika naik motor. Namun, baru saja aku turun dari tangga, Bunda memanggil.
"Ra, mobilnya sudah datang."
"Mobil?" aku membeo. Karena aku belum sempat pesan. Rencananya aku juga mau sarapan dulu sebelum ke sana.
"Iya. Mobil yang kamu pesan."
Hm ... ulah Kak Gita pasti ini.
📩 Kak Gita Kesayangan
'Langsung ke sini aja, sudah Kakak pesankan taksi online. Nggak usah sarapan, Kakak sudah siapkan sarapan di sini. Jangan lupa bawa Rain!'
Tuh kan, bener. Baru saja aku mau telpon, Kak Gita sudah mengirim pesan terlebih dahulu. Memang sepengertian itu Kak Gita sama aku. Gimana aku nggak meleleh coba, mendapat perlakuan semanis itu. Setelah membalas pesannya dengan emot jempol dua, aku berpamitan pada Bunda dan langsung naik mobil yang Kak Gita pesan.
Tak sampai 20 menit kemudian, aku sudah sampai di lobby hotel. Saat hendak naik ke kamar Kak Gita, secara kebetulan aku berpapasan dengan suami Kak Gita. Laki-laki yang berusia lebih dari setengah abad itu, langsung menyapaku begitu kami berdekatan.
"Oh, hai, Dira! Apa kabar?" tanyanya dengan suara beratnya yang berwibawa.
"Baik, Om! Om apa kabar?" Aku menyalaminya. Usianya yang sebaya dengan Ayah, membuatku segan. Kami sudah beberapa kali bertemu, tapi masih saja canggung.
"Om baik. Gimana rasanya pulang? Lebih happy kayaknya." Menunjukku dengan kacamata di tangannya saat mengatakan itu. "Wajah kamu lebih seger. Badannya juga lebih berisi."
Aku memegang kedua pipiku yang berlemak. Satu-satunya yang menurun dariku kepada Rain. "Iya, Om. Alhamdulillah."
"Gita jadi sensitif banget sejak kamu pulang. Kalau kangen sama Rain, bisa semalaman nangisnya," kata Om Broto membuatku terkekeh. "Makanya pas tahu Om mau ada kerjaan di sini, langsung ikut. Sekarang pasti sudah nungguin kamu. Sana gih naik ke atas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira(in)
Romance. . . Hampir sepuluh menit aku hanya memandang kaget pada sesuatu yang bergerak di lantai persis di antara kakiku yang gemetar. Aku pun belum berdiri dari posisi duduk bersandar pada pintu kamar mandi. Sesuatu yang merintih meminta pelukan itu kelua...